Sabtu, 15 Oktober 2011

DEMOKRASI DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Berbagai masalah memang dapat ditemukan di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi. Sekian banyak permasalahan demokrasi memang mengundang pendapat dari berbagai ahli, Cornelis Lay (seorang pakar politik UGM) menyebutkan bahwa permasalahan demokrasi yang ada di Indonesia saat ini jangan-jangan permasalaha demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini hanya karena kita menamai gerakannya sebagai gerakan demokrasi. Karena menamainya demokrasilah akhirnya terjadi kebingunangan bentuk dari demokrasi itu sendiri.
Akhir milenium kedua ditandai dengan perubahan besar di Indonesia. Rejim Orde Baru
yang telah berkuasa selama 32 tahun yang dipimpin oleh Soeharto akhirnya tumbang.
Demokrasi Pancasila versi Orde Baru mulai digantikan dengan demokrasi dalam arti
sesungguhnya. Hanya saja tidak mudah mewujudkan hal ini, karena setelah Soeharto
tumbang tidak ada kekuatan yang mampu mengarahkan perubahan secara damai, bertahap dan progresif. Yang ada justru muncul berbagai konflik serta terjadi perubahan
genetika sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tak lepas dari pengaruh krisis moneter yang
menjalar kepada krisis keuangan sehingga pengaruh depresiasi rupiah berpengaruh
signifikan terhadap kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Inflasi yang dipicu kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) sangat berpengaruh kepada kualitas kehidupan
masyarakat. Rakyat Indonesia sebagian besar masuk ke dalam sebuah era demokrasi sesungguhnya dimana pada saat yang sama tingkat kehidupan ekonomi mereka justru
tidak lebih baik dibandingkan ketika masa Orde Baru. Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi.
Pertama adalah demokrasi liberal dimasa kemerdekaan. Kedua adalah demokrasi
terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan
demokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak
pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalam
masa transisi.
Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa demokrasi tersebut pada dasarnya
bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi liberal ternyata pada saat itu
belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian,
berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam
pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah
dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Sementara demokrasi terpimpin
yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lamanya konstituante
mengeluarkan undang-undang dasar baru) telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut.
Di satu sisi, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum
Internasional yang diperlihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Soekarno serta
munculnya Indonesia sebagai salah satu kekuatan militer yang patut diperhitungkan di
Asia. Namun pada sisi lain segi ekonomi rakyat kurang terperhatikan akibat berbagai
kebijakan politik pada masa itu.
Lain pula dengan masa demokrasi Pancasila pada kepemimpinan Soeharto. Stabilitas
keamanan sangat dijaga sehingga terjadi pemasungan kebebasan berbicara. Namun
tingkat kehidupan ekonomi rakyat relatif baik. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem nilai
tukar dan alokasi subsidi BBM sehingga harga-harga barang dan jasa berada pada titik
keterjangkauan masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) semakin parah menjangkiti pemerintahan. Lembaga pemerintahan
yang ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif terkena virus KKN ini. Selain itu,
pemasungan kebebasan berbicara ternyata menjadi bola salju yang semakin membesar
yang siap meledak. Bom waktu ini telah terakumulasi sekian lama dan ledakannya terjadi
pada bulan Mei 1998.
Selepas kejatuhan Soeharto, selain terjadinya kenaikan harga barang dan jasa beberapa
kali dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, instabilitas keamanan dan politik serta KKN
bersamaan terjadi sehingga yang paling terkena dampaknya adalah rakyat kecil yang
jumlahnya mayoritas dan menyebabkan posisi tawar Indonesia sangat lemah di mata
internasional akibat tidak adanya kepemimpinan yang kuat.
Namun demikian, demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia memperlihatkan
beberapa kemajuan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pemilihan umum dengan
diikuti banyak partai adalah sebuah kemajuan yang harus dicatat. Disamping itu
pemilihan presiden secara langsung yang juga diikuti oleh pemilihan kepala daerah
secara langsung adalah kemajuan lain dalam tahapan demokratisasi di Indonesia. Diluar
hal tersebut, kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi di
masyarakat juga semakin meningkat. Para kaum tertindas mampu menyuarakan keluhan
mereka di depan publik sehingga masalah-masalah yang selama ini terpendam dapat
diketahui oleh publik. Pemerintah pun sangat mudah dikritik bila terlihat melakukan
penyimpangan dan bisa diajukan ke pengadilan bila terbukti melakukan kesalahan dalam
mengambil suatu kebijakan publik.
Jika diasumsikan bahwa pemilihan langsung akan menghasilkan pemimpin yang mampu
membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik, maka seharusnya dalam
beberapa tahun ke depan Indonesia akan mengalami peningkatan taraf kesejahteraan
masyarakat. Namun sayangnya hal ini belum terjadi secara signifikan. Hal ini sebagai
akibat masih terlalu kuatnya kelompok yang pro-KKN maupun anti perbaikan.
Demokrasi di Indonesia masih berada pada masa transisi dimana berbagai prestasi sudah
muncul dan diiringi ”prestasi” yang lain. Sebagai contoh, munculnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dirasakan mampu menimbulkan efek jera para koruptor
dengan dipenjarakannya beberapa koruptor. Namun di sisi lain, para pengemplang dana
bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) mendapat pengampunan yang tidak sepadan
dengan ”dosa-dosa” mereka terhadap perekonomian.
Namun demikian, masih ada sisi positif yang bisa dilihat seperti lahirnya undang-undang
sistem pendidikan nasional yang mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen.
Demikian pula rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi yang masih
dibahas di parlemen. Rancangan undang-undang ini telah mendapat masukan dan
dukungan dari ratusan organisasi Islam yang ada di tanah air. Hal ini juga
memperlihatkan adanya partisipasi umat Islam yang meningkat dalam perkembangan
demokrasi di Indonesia. Sementara undang-undang sistem pendidikan nasional yang telah
disahkan parlemen juga pada masa pembahasannya mendapat dukungan yang kuat dari
berbagai organisasi Islam.
Sementara itu, ekonomi di era demokrasi ternyata mendapat pengaruh besar dari
kapitalisme internasional. Hal ini menyebabkan dilema. Bahkan di tingkat pemerintah,
ada kesan mereka tunduk dibawah tekanan kapitalis internasional yang tidak
diperlihatkan secara kasat mata kepada publik namun bisa dirasakan.
Semenjak reformasi, yang dilakukan pada tahun 1998, praktis pelaksanaan demokrasi di Indonesia mengalami banyak tantangan dan hambatan. Kecenderungan yang terjadi adalah makin memudarnya kerpercayaan masyarakat terhadap gerakan demokrasi yang saat ini dilaksanakan. Bahkan kecenderungan masyarakat kelas bawah merindukan kembalinya situasi dan kondisi seperti pada orde baru makin besar. Tidak dapat dipungkiri memang demokratisasi yang dilaksanakan di Indonesia saat ini hanya dinikmati oleh elit-elit tertentu yang menguasai sumber-sumber daya di masyarakat, sehingga hal inilah yang kemudian membuat masyarakat menjadi tidak percaya kepada demokrasi yang sedang dilaksanakan.
1.2. Rumusan Masalah
Berbagai masalah memang dapat ditemukan di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi. Sekian banyak permasalahan demokrasi memang mengundang pendapat dari berbagai ahli, Cornelis Lay (seorang pakar politik UGM) menyebutkan bahwa permasalahan demokrasi yang ada di Indonesia saat ini jangan-jangan permasalaha demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini hanya karena kita menamai gerakannya sebagai gerakan demokrasi. Karena menamainya demokrasilah akhirnya terjadi kebingunangan bentuk dari demokrasi itu sendiri.
Bahkan dari berbagai teori yang ada pengertian demokrasi selalu menjadi perdebatan. Dalam argumentasinya mengambil contoh pada negara Amerika, semenjak berdirinya negara Amerika tidak pernah menyebut diri sebagai negara demokrasi, disebutkan oleh Lay bahwa Amerika hanya menyebut negaranya sebagai negara Republik jadi bukan demokrasi.
Secara umum permasalahan demokratisasi di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Defisit Demokrasi
Berdasarkan hasil riset Demos (2005) membuktikan bahwa kebebasan sipil dan politik- termasuk kebebasan membentuk partai; kebebasan untuk berpartisipasi dalam asosiasi sosial dan politik indepensen; kebebasan beragama dan berkeyakinan; serta kebebasan media- sudah dianggap lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Namun beberapa hal yang perlu menjadi perhatian adalah :
a. Demokratisasi bukan sekedar liberalisasi politik
b. Masih muncul kesenjangan antara aspek yang esensial/ substantif (konstistusionalisme; rule of law, supremasi sipil; peradilan yang bebasa; responsivitas negara; democratic governance; hak-hak warga negara) dengan aspek instrumental.
c. Kinerja instrumen memburuk.
d. Kebebasan membentuk partai bukanlah mengumbar politik yang pada akhirnya menghilangkan perwakilan yang berkualitas.

2. Representasi Bermasalah
• Problem keterwakilan politikà kesenjangan antara agenda masyarakat dengan agenda partai politik dan parlemen
• Belum berjalannya reformasi internal dan kebanyakan partai lebih berpatokan padadesetralisasi kepertaian elit-elit yang ada di pusat. Meminjam istilah dari Ketut Putra Erawan, partai politik di Indonesia masih belum mampu melakukan Institusionalisasi Kepartaian baik di tingkat akar rumput, parlemen, dan kelembagaan.

3. Demokrasi Oligarkis
- Hasil riset demos (2005) menunjukkan kehadiran elite oligarkis yang telah menyesuaikan diri dengan demokrasi.
- Strateginya:
a. Beradaptasi (75 % user & abuser; 14 %promoter)
b. Memonopoli (jalur legislatif 61 %);
c. Memanipulasi proses demokrasi (mendayagunakan sumberdaya publik 10 %; membeli dukungan suara (13 %); penggunaan cara otoritarian (15 %); mengerahkan masa (8 %) dan memanipulasi sentimen etnik/ agama (12 %) .
- adapun elite oligarkis tersebut adalah : Aktor-aktor eksekutif, agen-agen represi;militer atau preman, politisi; anggota parlemen; aktor-aktor bisnis, aktor-aktor organisasi sosial, dan tokoh-tokoh informal.
- Adapun pola interaksi aliansi antar elit yang terbentuk adalah sebagai berikut : Intra elite politikà aktor politik lintas blok (38 %), Aliansi elite politik dengan elite bisnis (26 %), dan Aliansi elite politik dengan militer (4 %).
- Demokrasi Oligarkis di Indonesia dapat berjalan pada umumnya terbentuk karena : jaringan sosial yang sangat luas yang dimiliki oleh para elit, penguasaan sumber-sumber ekonomi pada masyarakat, penguasaan atas kekuatan kekerasan yang dapat melakukan represi terhadap masyarakat, dan penguasaan terhadap kekuasaan legal formal di masyarakat.

4. Demokrat Mengambang
Bagaimana dengan aktor pro-demokrasi ?
- Tidak engage dalam pemerintahan dan representasi politik
- Kurang mempunyai basis dukungan kerakyatan yang kuatà tidak punya konstituen
Terfragmentasi dalam ideologi dan strategi (fokus ke penguatan civil society tanpa politisasi atau melakukan rekoneksi antara penguatan masyarakat dengan aksi politik (engage).
Hasil penelitian dari Demos (2007) juga menyebutkan bahwa para pelaku pro demokrasi kebanyakan bertindak secara populis, salah satu contohnya masuk ke dalam lingkaran elit/partai yang sudah populer, sehingga gerakan demokrasi tetap saja tidak berjalan dengan baik.












BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah suatu pemikiran manusia yang mempunyai kebebasan berbicara, megeluarkan pendapat. Negara Indonesia menunjukan sebuah Negara yang sukses menuju demokrasi sebagai bukti yang nyata, dalam peemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Selain itu bebas menyelenggarakan kebebasan pers. Semua warga negar bebas berbicara, mengeluarkan pendapat, mengkritik bahkan mengawasi jalannya pemerintahan. Demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat bahkan dalam memilih salah satu keyakinan pun dibebaskan.
Untuk membangun suatu system demokrasi disuatu Negara bukanlah hal yang mudah karena tidak menutup kemungkinan pembangunan system demokrasi di suatu Negara akan mengalami kegagalan. Tetapi yang harus kita banggakan dmokrasi dinegara Indonesia sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat contahnya dari segi kebebasan, berkeyakinan, berpendapat atau pun berkumpul mereka bebas bergaul tanpa ada batasan-batasan yang membatasi mereka. Tapi bukan berarti demokrasi di Indonesia saat ini sudah berjalan sempurna masih banyak kritik-kritik yang muncul terhadap pemerintah yang belum sepenuhnya bisa menjamin kebebasan warga negaranya. Dalam hal berkeyakian juga pemerintah belum sepenuhnya. Berdasarkan survei tingkat kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi smakin besar bahkan demokrasi adalah system yang terbaik meskipun system demokrasi itu tidak sempurna.
Dengan begitu banyaknya persoalan yang telah melanda bangsa Indonesia ini. Keberhasilan Indonesia dalam menetapkan demokrasi tentu harus dibanggaan karena banyak Negara yang sama dengan Negara Indonesia tetapi Negara tersebut tidak bisa menegakan system demokrasi dengan baik dalam artian gagal. Akibat demokrasi jika dilihat diberbagai persoalan dilapangan adalah meningkatnya angka pengangguran, bertambahnya kemacetan dijalan, semakin parahnya banjir masalah korupsi, penyelewengan dan itu adalah contoh penomena dalam suatu Negara system demokrasi, demokrasi adalah system yang buruk diantara alternative-alternatif yang lebih buruk tetapi demokrasi memberikan harapan untuk kebebasan, keadilan dan kesejahtraan oleh karena itu banyak Negara-negara yang berlomba-lomba menerapkan system demokrasi ini.
Dalam kehidupan berpolitikdi setiap Negara yang kerap selalu menikmati kebebasan berpolitik namun tidak semua kebebasan berpolitik berjalan sesuai dengan yang di inginkan, karena pada hakikatnta semua system politik mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Demokrasi adalah sebuah proses yang terus-menerus merupakan gagasan dinamis yang terkait erat dengan perubahan. Jika suatu Negara mampu menerapkan kebebasan, keadilan, dan kesejahtraan dengan sempurna. Maka Negara tersebut adalah Negara yang sukses menjalankan system demokrasi sebaliknya jika suatu Negara itu gagal menggunakan system pemerintahan demokrasi maka Negara itu tidak layak disebut sebagai Negara demokrasi. Oleh karena itu kita sebagai warga Negara Indonesia yang meganut system pemerintahan yang demokrasi kita sudah sepatutnya untuk terus menjaga dan memperbaiki, melengkapi kualitas-kualitas demokrasi yang sudah ada. Demi terbentuknya suatu system demokrasi yang utuh di dalam wadah pemeritahan bangsa Indonesia. Demi tercapaiya suatu kesejahtraan, tujuan dari cita-cita demokrasi yang sesungguhnya akan mengangkat Indonesia ke dalam suatu perubahan.
2.2. Keadaan Demokrasi di Indonesia
Demokrasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum memberikan dampak ekonomi yang positif buat mereka. Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam masa transisi. Demokrasi masih terkesan isu kaum elit, sementara ekonomi adalah masalah riil kaum ekonomi bawah yang belum diakomodasi dalam proses demokratisasi. Ini adalah salah satu tantangan terberat yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan demikian ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik. Setiap manusia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, berserikat dan bermasyarakat. Dengan demikian, demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main. Aturan main tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus yang terdapat dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah.
Di masa transisi, sebagian besar orang hanya tahu mereka bebas berbicara, beraspirasi, berdemonstrasi. Namun aspirasi yang tidak sampai akan menimbulkan kerusakan. Tidak sedikit fakta yang memperlihatkan adanya pengrusakan ketika terjadinya demonstrasi menyampaikan pendapat. Untuk itu orang memerlukan pemahaman yang utuh agar mereka bisa menikmati demokrasi.
Demokrasi di masa transisi tanpa adanya sumber daya manusia yang kuat akan mengakibatkan masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah tantangan yang cukup berat juga dalam demokrasi yang tengah menapak. Pengaruh asing tersebut jelas akan menguntungkan mereka dan belum tentu menguntungkan Indonesia. Dominannya pengaruh asing justru mematikan demokrasi itu sendiri karena tidak diperbolehkannya perbedaan pendapat yang seharusnya menguntungkan Indonesia. Standar ganda pihak asing juga akan menjadi penyebab mandulnya demokrasi di Indonesia.
Harapan dari adanya demokrasi yang mulai tumbuh adalah ia memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat dan juga bangsa. Misalnya saja, demokrasi bisa memaksimalkan pengumpulan zakat oleh negara dan distribusinya mampu mengurangi kemiskinan. Disamping itu demokrasi diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat banyak seperti masalah kesehatan dan pendidikan. Tidak hanya itu, demokrasi diharapkan mampu menjadikan negara kuat. Demokrasi dinegara yang tidak kuat akan mengalami masa transisi yang panjang. Dan ini sangat merugikan bangsa dan negara. Demokrasi di negara kuat (seperti Amerika) akan berdampak positif bagi rakyat. Sedangkan demokrasi di negara berkembang seperti Indonesia tanpa menghasilkan negara yang kuat justru tidak akan mampu mensejahterakan rakyatnya. Negara yang kuat tidak identik dengan otoritarianisme maupun militerisme.
Harapan rakyat banyak tentunya adalah pada masalah kehidupan ekonomi mereka serta bidang kehidupan lainnya. Demokrasi membuka celah berkuasanya para pemimpin yang peduli dengan rakyat dan sebaliknya bisa melahirkan pemimpin yang buruk. Harapan rakyat akan adanya pemimpin yang peduli di masa demokrasi ini adalah harapan dari implementasi demokrasi itu sendiri.
Demokrasi di Indonesia memberikan harapan akan tumbuhnya masyarakat baru yang memiliki kebebasan berpendapat, berserikat, berumpul, berpolitik dimana masyarakat mengharap adanya iklim ekonomi yang kondusif. Untuk menghadapi tantangan dan mengelola harapan ini agar menjadi kenyataan dibutuhkan kerjasama antar kelompok dan partai politik agar demokrasi bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Cornelis Lay (seorang pakar politik UGM) mengemukakan secara umum permasalahan demokratisasi di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Defisit Demokrasi
2. Representasi Bermasalah
3. Demokrasi Oligarkis
4. Demokrat Mengambang
Di bab ini akan kita bahas satu-persatu permasalahan demokrasi yang dikemukakan oleh Cornelis Lay yang disebutkan di atas.
1. Masalah Defisit Demokrasi
Untuk mengantisipasi potensi negatif secara berkepanjangan di masa depan, perlu dipikirkan dalam dunia pendidikan formal dan partai politik serta kelompok pro demokrasi melakukan pendidikan multikultural.

Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki kepekaan dalam menangkap dan menghadapi gejala dan masalah sosial politik yang berakar pada perbedaan cara pandang dan poros politik yang berbeda.

Dalam Undang-undang Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 secara prinsip telah termaktub di Pasal (4), di mana dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), nilai-nilai keagamaan dan kultural.

Pendidikan multikultural dipandang efektif dan relevan diterapkan dalam upaya membangun sistem demokrasi substansial, terutama di era desentralisasi dan otonomi daerah serta masyarakat heterogen.

Karena pendidikan multikultural mendorong sikap hidup masyarakat atau warga negara untuk kohesif, solider, dan intimitas pada perbedaan-perbedaan cara pandang sikap berdasarkan ras, etnik, agama, budaya dan kebutuhan.

Pendidikan Multikultural memang sebuah konsep yang bertujuan untuk membangun pranata sosial yang inklusif, plural, interaktif dan toleran pada persamaan dan perbedaan, agar masyarakat memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memadai dalam realitas kehidupan kemasyarakatan yang plural.

Prinsip-prinsip utama pendidikan multikultural antara lain menekankan pada Pertama; mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya. Kedua; Terbuka dalam berpikir. Ketiga; apresiasi dan interdependensi. Keempat; Resolusi konflik dan rekonsiliasi nonviolence (tanpa kekerasan dan anarkis).

Belajar dari "pesta demokrasi lokal" atau pemilukada pada 10 kabupaten Juni lalu dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi dan otoda menjadi spirit baru terbangunnya kesadaran komunalitas berdasarkan emosi komunitas ras, etnis, agama dan budaya yang cenderung "semu", superior dan eksklusif. Selanjutnya rentan menjadi pemicu konflik (disadari atau tidak disadari)

Dan salah satu upaya strategis yang efektif dalam mendorong penguatan proses demokrasi lokal berkualitas dan bermartabat pada kehidupan masyarakat adalah implementasi pendidikan multikultural yang menekankan pada penyadaran sikap dan prilaku masyarakat yang simpatik, respek, apresiatif, dan empati.
2. Representasi Bermasalah
Dalam demokrasi representative, populasi memilih satu orang kandidat yang mereka percayai untuk dapat mewakili aspirasi mereka duduk di dalam parlemen dimana kebijakan public di buat, pemilih menyerahkan semua hak demokratiknya kepada kandidat tersebut. Permasalahan yang muncul kemudian adalah si kandidat memiliki jarak yang sangat jauh dari massa yang memilihnya denan berbagai macam alasan, pemahaman bahwa massa memiliki hak partisipasi demokratik dalam suatu Negara dan ketika ia melakukan pemilihan haknya diberikan kepada si kandidat pun agaknya asing di tingkatan massa. Kebanyakan massa hanya menagannggap pemilu adalah sebuah ritual kenegaraan dan meraka adalah penonton yang inferior di dalamnya. Banyaknya jumlah populasi yang mengharuskan kandidat melakukan komunikasi terhadap pemilih pun telah mendegradasi kualitas komunikasi politik dengan menggantikannya dengan symbol kampanye dan tentunya hanya orang-orang tertentu sajalah yang mampu membiayai kampanye tersebut. Hal ini telah menjauhkan kandidat dari pemilih sekaligus menutup kemungkinan kelas bawah untuk dapat menjadi kandidat dalam proses electoral. Proses ini kemudian akan memunculkan oligarki dalam kekuasaan. Meskipun begitu, kapitalisme membutuhkan oligarki untuk memastikan akumulasi modal dapat terus terkonsentrasi dan aman dalam bentuk kepemilikan privat. Dalam demokrasi representative, populasi memilih satu orang kandidat yang mereka percayai untuk dapat mewakili aspirasi mereka duduk di dalam parlemen dimana kebijakan public di buat, pemilih menyerahkan semua hak demokratiknya kepada kandidat tersebut. Permasalahan yang muncul kemudian adalah si kandidat memiliki jarak yang sangat jauh dari massa yang memilihnya denan berbagai macam alasan, pemahaman bahwa massa memiliki hak partisipasi demokratik dalam suatu Negara dan ketika ia melakukan pemilihan haknya diberikan kepada si kandidat pun agaknya asing di tingkatan massa. Kebanyakan massa hanya menagannggap pemilu adalah sebuah ritual kenegaraan dan meraka adalah penonton yang inferior di dalamnya. Banyaknya jumlah populasi yang mengharuskan kandidat melakukan komunikasi terhadap pemilih pun telah mendegradasi kualitas komunikasi politik dengan menggantikannya dengan symbol kampanye dan tentunya hanya orang-orang tertentu sajalah yang mampu membiayai kampanye tersebut. Hal ini telah menjauhkan kandidat dari pemilih sekaligus menutup kemungkinan kelas bawah untuk dapat menjadi kandidat dalam proses electoral. Proses ini kemudian akan memunculkan oligarki dalam kekuasaan. Meskipun begitu, kapitalisme membutuhkan oligarki untuk memastikan akumulasi modal dapat terus terkonsentrasi dan aman dalam bentuk kepemilikan privat.
3. Demokrasi Oligarki
Oligarki dengan sendirinya menciptakan krisis legitimasi di tataran rakyat ketidakpercayaan terhadap proses maupun konsistensi kandidat terpilih untuk membawa aspirasi rakyat mulai muncul, singkatnya kita dapat mengambil contoh dengan maraknya jumlah golput pada setiap pemilihan umum di berbagai Negara.
Demokrasi parlementer dan Oligarki seakan-akan telah menjadi dua hal yang sebenarnya satu. Tidak ada perbedaan mencolok diantara keduanya bahkan bisa dikatakan sama saja, begitupun juga dengan demokrasi. Jika begini masih layakkah demokrasi dipertahankan? Jika masih layak, adakah alernatif bagi demokrasi?
Demokrasi yang sedang di beberapa Negara di amerika latin ini di sebut sebagai Demokrasi Partisipatoris. Demokrasi model ini menjadikan demokrasi yang sebelumnya hanya menjadi ritual kenegaraan menjadi sistem yang nyata di tengah-tengah massa. sistem demokrasi ini memungkinkan massa memberikan aspirasinya secara langsung, merubah elitism parlemen menjadi proses partisipatoris dikalangan base massa terendah, memungkinkan massa mengorganisir dirinya sendiri dan merencanakan programnya sendiri untuk mereka. Dalam proses ini juga consensus rakyat merupakan hal yang paling utama sehingga referendum dipastikan dapat dilakukan kapan saja (tentunya dengan syarat). sistem demokrasi partisipatoris ini juga mensyaratkan terorganisirnya rakyat di setiap level dan pendidikan politik dilakukan secara simultan di dalamnya, system ini kemudian menjadikan demokrasi sebagai sistem social yang muncul secara integral dalam masyarakat hingga kemudian rakyat dapat menyadari bahwa kekuasaan ada di tangan mereka.
Proses demokrasi partisipatoris yang dapat dipantau lebih jelas adalah proses demokrasi di Venezuela. Proses ini mirip dengan proses yang terjadi di kuba namun lebih terbuka. Demokrasi partisipatoris di Venezuela menggunakan dewan komunal sebagai tenaga pokoknya dalam agenda revolusi bolvarian mereka. Dewan-dewan komunal ini dibentuk di berbagai level massa untuk memutuskan kebutuhan mendasarnya melalui program-program kerakyatan yang mereka usulkan ke pemerintah, konstitusi Negara ini dirubah menjadi konstitusi yang lebih kerakyatan.
Pertanyaan bahwa apakah terdapat kemungkinan diterapkannya demokrasi partisipatoris di Indonesia, jawabannya adalah ada kemungkinannya. Meskipun tidak menemukan momentum seradikal kuba, dalam beberapa tahap keadaan di Indonesia hamper serupa dengan Venezuela dan Negara dunia ketiga lainnya. Pembentukan demokrasi partisipatoris di Venezuela pun tidak dilakukan secara parsial dari rangkaian gerak ekonomi politik Venezuela, begitupun juga kemungkinan yang ada di Indonesia. Demokrasi partisipatoris sebagai ide untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh kaum prodemokrasi dan kaum progresif lainnya di Indonesia dengan meluaskan pembangunan organisasi-organisasi rakyat.
Demokrasi sebagai sebuah sistem social harus dibentuk dari sistem social itu sendiri melalui pengorganisiran di tingkatan rakyat dan mengenalkan proses demokrasi ini dalam bentuk tindakan keseharian dalam pengorganisiran. Membangun kesadaran rakyat melalui proses demokratis dan menjadikan demokrasi sebagai nilai social di tingkatan rakyat.
4. Demokrat Mengambang
Pergantian dari rezim otoriter ke demokratis, sering meninggalkan sejumlah masalah. Sederet masalah mulai dari membengkaknya utang luar negeri, meningkatnya jumlah kemiskinan, inflasi yang tak terbendung, menguatnya gerakan sparatisme, sampai rumitnya penuntasan pelanggaran HAM berat maupun ringan, menjadi pekerjaan pertama yang harus secepatnya diatasi pemerintahan baru.
Upaya penyelesaian sejumlah persoalan itu akan menentukan, apakah rezim demokratis mampu mengonsolidasikan dirinya dengan kuat atau gagal. Dalam banyak kasus, pemerintahan baru selalu dipaksa menyelesaikan persoalan itu agar dapat memelihara dan memperkuat legitimasinya. Jika gagal, taruhannya adalah degradasi legitimasi yang akan berdampak bagi terganggunya konsolidasi demokrasi.
Pertanyaannya, apakah negara demokrasi baru, terutama di dunia ketiga, mampu mengatasi dan menuntaskan sejumlah persoalan itu? Dalam kenyataannya, rezim-rezim itu memang berhasil mengatasi masalah tertentu. Namun, pada sebagian besar kasus, tampaknya ia tidak mampu menangani masalah-masalah ini secara efektif dan cepat dibanding pemerintahan sebelumnya yang otoriter. Untuk sekian waktu lamanya, persoalan-persoalan itu tetap mengambang dan tidak ada alternatif penyelesaiannya.
Dengan situasi seperti itu, apakah demokrasi menjadi terancam? Bagi sebagian negara boleh jadi demikian. Di Filipina, Peru, dan Guatemala misalnya, proses demokrasi mendapat tekanan berat. Tekanan itu adakalanya muncul dari kekuatan baru yaitu oposisi, namun yang paling berat justru dari elemen-elemen lama yang telah terkonsolidasi kembali.
Masyarakat akan melirik pemerintahan masa lalu. Alasannya, meski otoriter, pemerintahan masa lalu dianggap dianggap lebih mampu dibanding pemerintahan dengan sistem demokrasi. Bahkan, masyarakat tidak terlalu peduli, dengan sistem otoriter atau demokrasi, yang penting bisa memenuhi segala kebutuhannya dan mampu menuntaskan segala persoalan.
Meski sulit dilakukan, namun, untuk menyelamatkan sistem demokrasi, maka pembedaan-pembedaan seperti ini perlu dilakukan. Kendalanya mungkin terletak pada kesulitan masyarakat untuk membedakan antara kegagalan pelaku pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya dengan sistem demokrasi yang menjadi dasar suatu pemerintahan.
Meski fenomena ini selalu menjadi problem bagi pemerintahan baru, namun, rasanya tidak ada jalan lain bagi pemerintah dan elite politik, kecuali bersama-sama secepatnya menuntaskan persoalan-persoalan di atas untuk mencegah munculnya sikap sinis dan apatis masyarakat.










BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Dari pengalaman masa lalu bangsa kita, kelihatan bahwa demokrasi belum membudaya. Kita memang telah menganut demokrsai dan bahkan telah di praktekan baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum membudanyakannya.
Membudaya berarti telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Mengatakan “Demokrasi telah menjadi budaya” berarti penghayatan nilai-nilai demokrasi telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging di antara warga negara. Dengan kata lain, demokrasi telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari kehidupanya. Seluruh kehidupanya diwarnai oleh nilai-nilai demokrasi.
Namun, itu belum terjadi. Di media massa kita sering mendengar betapa sering warga negara, bahkan pemerintah itu sendiri, melanggar nilai-nilai demokrasi. Orang-orang kurang menghargai kebabasan orang lain, kurang menghargai perbedaan, supremasi hukum kurang ditegakan, kesamaan kurang di praktekan, partisipasi warga negara atau orang perorang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan pilitik belum maksimal, musyawarah kurang dipakai sebagai cara untuk merencanakan suatu program atau mengatasi suatu masalah bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam keluarga dan masyarakat kita sendiri, nilai-nilai demokrasi itu kurang di praktekan.







3.2. Saran
Mewujudkan budaya demokrasi memang tidak mudah. Perlu ada usaha dari semua warga negara. Yang paling utama, tentu saja, adalah:
1. Adanya niat untuk memahami nilai-nilai demokrasi.
2. Mempraktekanya secara terus menerus, atau membiasakannya.
Memahami nilai-nilai demokrasi memerlukan pemberlajaran, yaitu belajar dari pengalaman negara-negara yang telah mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih baik dibandingkan kita. Dalam usaha mempraktekan budaya demokrasi, kita kadang-kadang mengalami kegagalan disana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk terus berusaha memperbaikinya dari hari kehari. Suatu hari nanti, kita berharap bahwa demokrasi telah benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Minggu, 21 Agustus 2011

Aliran-aliran Pemikiran yang Mempengaruhi Terbentuknya Sosiologi Hukum



Filsafat hokum bagian dari disiplin ilmu hukum, telah mempunyai tradisi yang lama, dan telah dikembangkan oleh ahli-ahli pemikir yang tersohor. Filsafat hukum tersebut yang terutama berusaha untuk menghayati arti dan hakikat hukum, telah banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang berguna. Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa hasil-hasil dari para ahlipemikir tadi tidak semuanya dapat dijadikan pegangan.hal ini terutama disebabkan oleh karena timbulnya usaha-usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti misalnya : apakah hukum itu?. Apakah keadilan, apakah hokum yang tidak baik dapat dinamakan hukum?. Dst.
Hal itu yang menempatkan para sosiolog dalam kedudukan yang sulit untuk dapat menerima cara-cara filsafat hokum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bahkan timbul masalah apakah pertanyaan tersebut dapat di jawab dengan sempurna dan memuaskan. Sebab sudah menjadi cirri-ciri dari aliran-aliran atau mazhab-mazhab teori hukum untuk menerapkan teknik-teknik analisa yang tidak bersifat emiris. Dalam usaha-usaha untuk menjawab pertanyaan tentang arti hukum,seringkali dikemukakan bagaimana hukum itu seharusnya.
Dari sudut sejarah, istilah “sosioligi hukum” untuk pertama kalinya digunakan oleh seorang itali yang bernama Anzilotti pada tahun 1882. Sosiologi hukum pada hakikatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran dari ahli pemikir, baik dibidang filsafat (hukum), ilmu hukum maupun sosiologi, hasil-hasil pemikiran tersebut tidak saja berasal dari individu-individu, akan tetapi mungkin pula berasal dari mazhab-mazhab atau aliran-aliran yang mewakili sekelompok ahli-ahli pemikir yang pada garis besarnya mempunyai pendapat-pendapat yang tidak banyak berbeda.




A. Hasil Pemikiran Para Ahli Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum
Ada berbagi factor yang menyebabkan para ahli hukum kemudian menerjunkan diri ke dalam bidan filsafat hukum. Pertama-tama dapat dikemukakan sebagai sebab, yaitu timbulnya kebimbangan akan kebenaran dan keadilan (dalam arti kesebandingan) dari hukum yang berlaku. Lagipula timbul pendapat yang berisikan ketidakpuasan terhadap hukum yang berlaku. Oleh karena itu hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat yang diaturnya. Ketidakpuasan tersebut diatas dapat dikembalikan pada beberapa factor, yaitu antara lain : ketegangan-ketegangan yang timbul antara kepercayaan (khususnya agama) dan hukum yang sedang berlaku. Hal ini disebabkan oleh karena tidak jarang peraturan-peraturan kepercayaan atau keyakinan yang dianut, tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, atau sebaliknya.
Dengan demikian maka timbul usaha-usaha untuk mengatasi kepincangan yang ada dengan jalan mencari pengertian-pengertian tentang dasar-dasar hukum yang berlaku untuk disesuaikan dengan dasar-dasar agama.
Disamping gejala tersebut, timbul pula keteganagan antara hukum yang berlaku dengan filsafat, hal mana disebabkan oleh karena perbedaan antara dasar-dasar dari hukum yang berlaku, dengan pemikiran orang dibidang filsafat. Kesangsian akan kebenaran serta keadilan (dalam arti kesebandingan) dari hukum yang berlaku timbul pula, terlepas dari pada system suatu agama maupun filsafat. Kesangsian terutama ditujukan terhadap nilai peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Artinya adalah bahwa isi dari pada peraturan-peraturan yang berlaku tidak dianggap adil dan dianggap pula sebagai tak dapat dipergtunakan sebagai ukuran untuk menilai perilaku orang. Di dalam hal ini terdapat suatu ketegangan antara peraturan-peraturan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dengan pendirian-pendirian mrengenai peraturan-peraturan tersebut. Lagi pula perlu di catat bahwa setiap pemikiran sistematis terhadap disiplin hukum, senantiasa berhubungan dengan filsafat dan politik.
Dengan demikian maka filsafat hukum terutama bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai pada dasar-dasar filsafatnya. Hasil-hasil pemikiran para ahli filsafat hukum tersebut terhimpun dalam berbagai mazhab atau aliran, antara lain sebagai berikut:
1. Mazhab Formalitas
Berbagai ahli filsafat hukum menekankan betapa pentingnya hubungan antara hukum dengan prinsip-prinsip moral (yaitu etika dalam arti sempit) yang berlaku umum. Lain-lain ahli filsafat hukum, yang biasanya disebut kaum positivis, sebaliknya berpendapat bahwa hukum dan moral merupakan dua bidang yang terpisah serta harus dipisahkan.

RINGKASAN MATERI HAKIKAT BANGSA & NEGARA



1. Pentingnya Pengakuan Suatu Negara Oleh Negara Lain

Pengakuan dari negara lain bukan merupakan syarat mutlak adanya suatu negara karena unsur ini bukan merupakan unsur pembentukan suatu negara. Pengakuan dari negara lain merupakan syarat deklaratif, artinya hanya bersifat menerangkan tentang adanya suatu negara. Pengakuan merupakan permasalahan politik dari pada permasalahan hukum dengan kata lain, pertimbangan politik banyak mempengaruhi pemberian pengakuan dari negara lain. Tujuan pengakuan yaitu: untuk mengawali dan menjalin hubungan resmi antara negara yang diakui dengan negara yang mengakui.
Dua cara pembarian pengakuan menurut Starke :
1. Tegas (express)
Pemberian pengakuan yang dinyatakan secara resmi berupa nota diplomatik, pesan pribadi kepada kepala negara atau menteri luar negeri, pernyataan parlemennya atau dengan traktat.
2. Tidak tegas (Implied)
Pengakuan yang dapat di lihat dari adanya hubungan tertentu antar negara yang mengakui dan negara baru atau pemerintah baru.

Dua teori pengakuan yang saling bertentangan
1. Teori konstitutif
Teori yang menyatakan bahwa hanya tindakan pengakuan yang dapat menciptakan status kenegaraan atau yang melengkapi pemerintah baru dengan otoritasnya dilingkungan internasional.





2. Teori deklaratif
Teori yang menyatakan bahwa status kenegaraan atau otoritas pemerintah baru telah ada sebelum adanya pengakuan dan status ini tidak tergantung pada pengakuan. Tindakan pengakuan semata-mata hanya pengumuman resmi terhadap situasi dan fakta yang ada.

2. Alasan Suatu Negara Mengakui Keberadaan Negara Lain

Pengakuan dari negara lain (deklaratif) meskipun bukan merupakan unsur pembentuk (Konstitutif) namun dalam tata hubungnn internasional sangat diperlukan. Sebab dalam tata hubungan internasional status negara merdeka merupakan persyaratan yang harus dipenuhi.

Faktor perlunya pengakuan :
1. adanya kekhawatiran akan kelangsungan hidupnya baik ancaman dari dalam (kudeta) maupun karena intervensi dari negara lain.
2. Ketentuan hukum alam yang tidak dapat dielakkan bahwa suatu negara tidak dapat bertahan hidup tanpa bantuan dan kerja sama dengan bangsa lain. Ketergantungan terhadap bangsa-bangsa lain itu sangat nyata, misalnya dalam memecahkan masalah ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.

Pengakuan dari Negara Lain Bersifat :
1. Pengakuan secara de fakto
Pengakuan secara de fakto diberikan kalau suatu negara baru sudah memenuhi unsur konstitutif dan juga telah menunjukkan diri sebagai pemerintahan yang stabil. Pengakuan secar de fakto adalah pengakuan tentang kenyataan (nyata) adanya suatu negara.







Pengakuan de fakto dibedakan menjadi:
- Pengakuan de facto berdifat sementara
Pengakuan yang diberikan oleh suatu negara tanpa melihat bertahan atau tidaknya negara tersebt di masa depan. Kalau negara tersebut jatuh hancur, maka negara tersebut akan menarik pengakuannya.
- Pengakuan de facto bersifat tetap
Pengakuan dari negara lain dari suatu negara hanya bisa menimbulkan hubungan di bidang ekonomi dan perdangan.

2. Pengakuan secara de jure
- Pengakuan de jure bersfat tetap
Pengakuan dari negara lain berlaku untuk selama-lamanya setelah melihat adanya jaminan bahwa pemerintah baru tersebut akan stabil dalam jangka waktu yang cukup lama.
- Pengakuan de ture bersifat penuh
Terjadi hubungan antar negara yang mengakui dan diakui meliputi hubungan dagang ekonomi, dan diplomatik. Negara yang mengakui berhak menempatkan konsuler atau membuka kedutaan.

3. Semangat Kebangsaan (Patriotisme dan Nasionalisme)
a. Nasionalisme
Kata ”nasionalisme” secara etimologis berasal dari kata”nasional” dan ”isme”, yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air, memiliki rasa kebanggaan sebagai bangsa atau memelihara kehormatan bangsa.
Menurut ensiklopedia indonesia, nasionalisme diartikan sebagai sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian, mearsakan adanya kesetiaan mendalam terhadap kelompok bangsa itu.
Nasionalisme dalam makna persatuan dan kesatuan merupakan bentuk sebuah kesadaran keanggotaan di suatu bangsa yang secara potensial dan aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, kemakmuran dan kekuatan bangsa.

Pemahaman tentang nasionalisme dibagi menjadi:
- Nasionalisme dalam arti sempit
Diartikan sebagai perasaan kebangsaan atau cinta terhadap bangsanya yang tinggi ataau berlebihan, sehingga memandang negara lain.

- Nasionalisme dalam arti luas
Perasaan cinta atau bangga terhadap tanah air dan bangsanya denagn tetap menghormati bangsa orang lain karena mersa sebagai bagian dari bangsa lain juga. Oleh karena itu nasionalisme dalam arti lusa, mengandung prinsip-prinsip: kebersamaan, persatuan dan kesatuan, demokrasi atau demokratis.

b. Patirotisme
Makna ” Patriotisme ” yang berasal dari kata ”patriot” dan ”isme” yang merupakan sifat kepahlawanaan atau jiwa pahlawan, atau heroims dan patirotism (inggris) adalah sikap yang gagah berani, pantang menyerah dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Sikap patriotisme merupakan sikap yang bersumber dari perasaan cinta pada tanah air sehingga menimbulkan kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara.
Penjawatan sikap patriotisme pasca kemerdekaan
- menegakkan hukum dan kebenaran
- meningkatkan kemampuan diri secara optimal
- memajukan pendidikan
- memelihara persatuan dan kesatuan
- menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Semangat kebangsaan bagi setiap warga negara, harus dapat dijadikan motivasi spiritual dan horisontal karena dengan mengerti dan memahami pentingnya semangat kebangsaan bagi setiap waerga negara, diharapkan mampu melahirkan jiwa nasionalisme ( cinta tanah air) dan patriotisme dengan tetaap menjunjung :
1. Mengedepankan keserasian, keselarasan, dan keharmonisan hidup yang dilandasi oleh nilai-nilai ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
2. Mengutamakan atau menunjukan keselarasan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
3. Mengedepankan sikap keadilan sosial dalam hidup berbangsa dan bernegara.
4. Menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), tidak diskriminatif, dan bersikap demokratis.
5. Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan keadaban manusia.


4. Penerapan Semangat Kebangsaan.
Patritisme tidak dapat dipisahkan dengan nasionalisme, karena keduanya merupakan perwujudan semangat ke\bangsaan para penyelenggara negara dituntut memiliki kemampuan dalam upaya menegakkan kebenaran dan keadilan serta mengantisipasi berbagai ancaman terhadap negara baik dari dalam maupun dari luar, demi keutuhan negara dan kepentingan rakyatnya.
Semangat kebangsaan dapat dilakukan dengan cara:
a. Keteladanan
Merupakan sikap dan perilaku yang patut dicontoh dan ditiru karena perkataan dan perbuatannya.
Contoh :
- Belajar keras dan disiplin dalam mengejar preestasi
- Membayar pajak tepat waktu
- Memahami peraturan berlalu lintas


b. Pewarisan
Merupakan cara atau proses menurunkan, memberikan atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lain berupa nilai-nilai, sikap dan perilaku terpuji pada genersi berikutnya.
Contoh :
- Tulus ikhlas dalam membantu ornag yang terkena musibah
- Terbiasa belajar dan bekerja tepat waktu.
- Berkata jujur dan bertanggung jawab dalam mengemban amanah.

c. Ketokohan
Merupakan sosok seorang yang terkenal dan disegani karena pengaruhnya sangat besar didalam masyarakat. Dalam semangat kebangsaan, ketokohan perlu dijadikan sandaran pedoman guna memberikan motivasi dan semangat bagi generasi muda.
Contoh :
- Tidak cepat puas dalam suatu prestasi
- Ingin selalu memberikan yang terbaik
- Rajin membantu atau sedekah kepada orang lain yang membutuhkan.

Nilai yang terdapat dalam perjuangan Bangsa Indonesia
a. Nilai Persatuan
salah satu nilai kepahlawanan yang dimiliki oleh para pejuang bangsa Indonesia adalah mampu menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa diatas kepentingan pribadi atau golongan.
b. Nilai Pengorban
Nilai kepahlawanan yang mampu meruntuhkan belenggu penjajahan di Indonesia adalah nilai pengorbanan yang dimiliki para pahlawan. Pengorbanan yang dimaksud bukan merupakan pengorbanan untuk dirinya atau demi keluarga dan golongannya.

c. Nilai Kecintaan
Kuatnya semangat pengorbanan dan persatuan para pahlawan karena didasari oleh rasa cinta yang tinggi terhadap bangsa dan negara Indonesia.

d. Nilai Kebanggaan
Bangga sebagai bangsa Indonesia dapat menimbulkan sikap rela berkorban untuk kepantingan bangsa dan negara. Dengan kebanggaan itulah, bangsa Indonesia merasa bahwa harkat dan martabat bangsa harus tetap diperhatikan agar senantiasa lestari.

Sikap yang perlu dikembangkan
- Berani membela kebenaran dan keadilan.
- Rela berkorban demi kepentingan bangsadan negara.
- Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
- Menanamkan jiwa dan sengat perjuangan mempertahankan kemerdekaan melelui jalur mata pelajaran.

GEOSTRATEGI INDONESIA


Pada awalnya geostrategi diartikan sebagai geopolitik untuk kepentingan militer atau perang. Di Indonesia geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, melalui proses pembangunan nasional. Karena tujuan itulah maka ia menjadi doktrin pembangunan dan diberi nama Ketahanan Nasional. Mengingat geostrategi Indonesia memberikan arahan tentang bagaimana membuat strategi pembangunan guna mewujudkan masa depan yang lebih baik, lebih aman, dan sebagainya, maka ia menjadi amat berbeda wajahnya dengan yang digagaskan oleh Haushofer, Ratzel, Kjellen dan sebagainya.

Indonesia tentu patut mewaspadai perkembangan yang terjadi terutama di kawasan Asia Pasifik. Sebab konsekuensi letak geografis Indonesia di persilangan jalur lalu lintas internasional, maka setiap pergolakan berapapun kadar intensitas pasti berpengaruh terhadap Indonesia. Apalagi jalur suplai kebutuhan dasar terutama minyak beberapa negara melewati perairan Indonesia. Jalur pasokan minyak dari Timur Tengah dan Teluk Persia ke Jepang dan Amerika Serikat, misalnya, seIndonesiar 70% pelayarannya melewati perairan Indonesia. Karenanya sangat wajar bila berbagai negara berkepentingan mengamankan jalur pasokan minyak ini, termasuk di perairan nusantara, seperti, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar, Selat Ombai Wetar, dan lain-lain. Pasukan Beladiri Jepang secara berkala dan teratur mengadakan latihan operasi jarak jauh untuk mengamankan area yang mereka sebut sebagai "life line," yakni, radius sejauh 1000 mil laut hingga menjangkau perairan Asia Tenggara. Hal yang sama juga dilakukan Cina, Australia, India, termasuk mengantisipasi kemungkinan terjadi penutupan jalur-jalur vital tersebut oleh negara-negara di seIndonesiarnya (termasuk Indonesia.) Keberadaan Indonesia dipersilangan jalur pelayaran strategis, memang selain membawa keberuntungan juga mengandung ancaman. Sebab pasti dilirik banyak negara. Karena itu sangat beralasan bila beberapa negara memperhatikan dengan cermat setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia. Australia misalnya, sangat kuatir bila Indonesia mengembangkan kekuatan angkatan laut, yang pada gilirannya dapat memperketat pengendalian efektif semua jalur pelayaran di perairan nusantara.Penetapan sepihak selat Sunda dan selat Lombok sebagai perairan internasional oleh Indonesia secara bersama-sama ditolak oleh Amerika Serikat, Australia, Canada, Jerman, Jepang, Inggris dan Selandia Baru. Tentu apabila dua selat ini menjadi perairan teritorial Indonesia, maka semua negara yang melintas di wilayah perairan ini harus tunduk kepada hukum nasional Indonesia, tanpa mengabaikan kepentingan internasional

Karakteristik Warga Negara


Siapakah yang disebut warga negara (citizen) itu, dan bagaimana karakteristiknya? Ini pertanyaan penting yang berkait dengan suasana globalisasi yang saat ini sangat terasa dalam kehidupan kita. Untuk menjawab pertanyaan itu, patut disimak pendapat yang dikemukakan Korten (1993), bahwa warga negara global adalah warga negara yang bertanggungjawab untuk memenuhi persyaratan institusional dan kultural demi kebaikan yang lebih besar bagi masyarakat. Sifat khas seorang warga negara yang bertanggungjawab terlihat dari komitmennya terhadap nilai-nilai integratif dan terhadap penerapan aktif kesadaran kritisnya : kemampuan untuk berpikir mandiri, kritis dan konstruktif, kemampuan untuk melihat masalah dalam konteks jangka panjang, dan untuk membuat penilaian berdasarkan suatu komitmen kepada kepentingan masyarakat jangka panjang.
Menurut Korten, dalam melaksanakan warga negara tersebut terdapat sarana yang dipergunakan warga negara untuk menetapkan identitas dan pengakuan sah atau usaha bersama mereka. Sarana tersebut adalah organisasi sukarela yang menyediakan sistem dukungan organisasi dan sarana untuk menggerakkan sumberdayanya untuk upaya-upaya yang menuntut lebih dari tindakan individual.
Istilah warga negara global yang dikemukakan Korten, merupakan istilah yang menunjuk kepada tingkatan kewarganegaraan. Warga negara global merupakan tingkatan lebih lanjut dari tingkatan warga negara komunal, dan warga negara nasional.
John Cogan memberikan beberapa karakteristik warga negara yang dikaitkan dengan kecederungan global yang terjadi saat ini. Karakteristik tersebut meliputi :
• Mendekati masalah dari sudut pandang masyarakat global.
• Bekerja bersama dengan orang lain.
• Bertanggung jawab terhadap peran dan tanggung jawab masyarakat.
• Berpikir secara kritis dan sistematis.
• Menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan.
• Mengadopsi cara hidup yang melindungi lingkungan.
• Menghormati dan mempertahankan hak asasi.
• Berpartisipasi dalam masalah publik pada semua tingkat pembelajaran civics; dan memanfaatkan teknologi berbasis informasi.

Sementara itu, menurut pendapat Kanter sebagaimana dikutip Wisnubrata (2001), menyebutkan ada tiga ciri manusia kelas dunia (world class), yaitu konsep (concept), kompetensi (competence), dan koneksi (connection). Concept berkaitan dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan gagasan-gagasan mutakhir. Sedangkan competence berkenaan dengan pengembangan kemampuan untuk bekerja secara multidisiplin. Kemudian, connection berhubungan dengan pengembangan jaringan sosial (social network) untuk melakukan kerjasama secara informal.
Selanjutnya, Wisnubrata (2001) menambahkan dua syarat lagi untuk melengkapi syarat manusia kelas dunia sebagaimana dikemukakan Kanter. Dua syarat itu adalah kredibilitas (credibility), dan kepedulian (caring). Kredibilitas berhubungan dengan integritas : jujur, menjalankan apa yang dikatakan (walk the talk), memegang teguh janji, berlaku adil, sehingga akan membangun rasa percaya (trust), dan rasa hormat (respect) dari orang lain. Kemudian kepedulian (caring) yakni peka dan tanggap terhadap kebutuhan dan keadaan orang lain, memberi yang terbaik tanpa pamrih, berbagi pengetahuan dan informasi dalam rangka memperkaya wawasan dan mentalitas (abundant mentality).
Berdasarkan pengertian warga negara global sebagaimana diketengahkan Korten di atas, kiranya dapat ditegaskan bahwa warga negara global adalah warga negara dimana sikap, komitmen, dan tanggung jawabnya mampu melintasi batas-batas budaya setempat baik lokal maupun nasional kepada budaya masyarakat global. Singkatnya, warga negara global merupakan waga negara lintas negara, warga negara lintas kebudayaan antarnegara, atau warga negara lintas kepentingan secara lebih luas diluar kepentingan individu dan kepentingan institusional bahkan kepentingan nasional.
Mengapa warga negara global tersebut ada? Hal ini tidak lepas dari kenyataan adanya ketergantungan global (global interdependent) antarnegara-bangsa dalam menjalin hubungan dengan berbagai bangsa-bangsa lain di penjuru dunia ini. Korten memandang bahwa saling ketergantungan akan menciptakan suatu situasi dimana negara-negara dan penduduk mempunyai kepentingan yang sah dalam urusan masing-masing dan mempunyai hak untuk ikut mempengaruhi urusan-urusan yang melampaui apa yang bisa direstui oleh konsep kedaulatan yang lebih tradisional (Korten, 1993:263). Berdasarkan pendapat tersebut, warga negara global tidak bisa dilepaskan dengan ketergantungan global yang di dalamnya negara-bangsa (nation-state) terlibat dalam berbagai kepentingan mereka masing-masing. Warga negara global menurut Korten, berperan sangat penting untuk merumuskan menerapkan agenda untuk transformasi sosial. Di sinilah peranan jiwa kewarganegaraan global (mind of global citizen) dalam mempertautkan dan mempersatukan rakyat di dunia ini untuk bersama-sama melakukan transformasi sosial.
Dari uraian warga negara global sebagaimana dikemukakan Korten, kiranya dapat dipahami bahwa gagasan warga negara global tersebut berkait erat dengan adanya ketergantungan yang kuat antarnegara di dunia ini, dan karenanya diperlukan keterlibatan warga negara dunia untuk menjalin kerjasama dalam berbagai bidang kehidupan, tanpa memandang perbedaan atau diskriminasi apa pun dari masing-masing bangsa tersebut.
Agar warga negara global yang terlibat dalam ketergantungan global tersebut dapat memainkan perannya dengan baik, maka tentu saja diperlukan sejumlah kemampuan atau kompetensi yang mendukung ke arah sikap, tindakan, dan perbuatan yang merefleksikan ciri-ciri warga negara global sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Dalam konteks inilah pendidikan global (global education) sangat berperan untuk membekali warga negara dengan kompetensi atau kemampuan yang relavan dengan kebutuhan dan tuntutan kehidupan global tersebut.
Untuk memahami secara komprehensif tentang arti/makna pendidikan global serta kontribusinya terhadap penyiapan kemampuan warga negara global, maka secara sistematis akan dijelaskan berikut ini tentang makna pendidikan global (global education).
Jan L. Tucker sebagaimana dikutip Nursid Sumaatmadja (1995:23) pendidikan global adalah pendidikan yang diarahkan pada pengembangan wawasan global yang mempersiapkan anak didik generasi muda menjadi manusiawi, rasional, sebagai warga negara yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan dunia yang semakin menunjukkan saling ketergantungan. (Global Education, commonly refered to as education for a global perspective, …… is to prepare young people to be humane, rational, participating citizens in the world that is becoming increasing interdependent).
Sementara itu, dalam pandangan Barbara Benham Tye dan Kenneth A. Tye (1992) pendidikan global merupakan :

Global education involves (1) the study of problems and issues which cut across national boundaries, and the interconnectedness of cultural, environmental, economic, political, and technological systems, and (2) the cultivation of cross-cultural understanding, which includes development of the skill of “perspective-taking”-that is, being able to see life someone else’s point of view. Global perspective are important at every grade level, in every curricular subject area, and for all children and adults.

Definisi pendidikan global sebagaimana diketengahkan di atas, menekankan bahwa pendidikan global mencakup kajian tentang masalah-masalah dan isu-isu yang melintasi batas-batas nasional, saling keterhubungan budaya, lingkungan, ekonomi, politik, dan system teknologi. Dan pemahaman lintas-budaya yang di dalamnya termasuk pengembangan keterampilan “menentukan perspektif atau pandangan” sebagai sebuah sudut pandang seseorang. Perspektif global itu sangat penting untuk semua tingkatan usia, anak-anak maupun orang dewasa.
Sementara itu, Jiro Nagai, sebagaimana dikutip Nursid Sumaatmadja (1995:24) mengatakan, dalam kehidupan yang makin terbuka dewasa ini di abad XXI, kesadaran internasional, pemikiran mendalam tentang dunia termasuk pandangan dan wawasan global, telah menjadi bagian kehidupan tiap bangsa. Oleh karena itu, pendidikan internasional dan atau pendidikan global harus menjadi bagian pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Untuk memasuki ambang pintu abad XXI, IPS sudah tidak dapat mengabaikan pendidikan internasional atau pendidikan global tersebut. (Today, international awareness, world mindedness, and global nespoints have come necessary for the livehood of every nation. Therefore, international education must be given increased emphasis in sosial studies education. It may be said that social studies education for the twenty-first century should be international/global education).
Selanjutnya Carlos Diaz, Massialas, dan Xanthopoulus (1999:209) memaknai pendidikan global sebagai pendidikan yang bertujuan untuk membantu siswa memahami konsep-konsep global dan isu-isu dan mengarahkan pula kepada tindakan sebagai warga negara. (global education is a pedagogy that aims atu student learning of global concepts and issues and leads to citizen action). Pengertian di atas lebih menekankan tujuan pendidikan global yakni untuk membelajarkan siswa tentang masalah-masalah global, isu-isu global, konsep-konsep global.
Berdasarkan pengertian pendidikan global menurut para ahli yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan global pada dasarnya merupakan pendidikan untuk membantu siswa memahami konsep dan isu-isu global, antara lain meliputi masalah politik, ekonomi, budaya, lingkungan, hak asasi manusia, dan sebagainya. Dengan demikian, siswa akan mampu menentukan sudut pandangnya (point of view) sebagai sebuah perspektif global (global perspective) dalam kedudukannya sebagai warga negara yang cerdas dalam menanggapi serta mengkritisi masalah-masalah global tersebut.
Nu’man Somantri (2001:190) menegaskan pentingnya pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang berorientasi global, dengan menampilkan pendidikan global (global education). Lebih lanjut beliau mengatakan, “…dinamika masyarakat dan globalisasi sangat dirasakan terutama bahan ajar yang selama ini terlalu menitikberatkan kepada teori-teori dan non-functional knowledge. Isi bahan ajar seperti itu, praktis tidak dapat memperkaya atau menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan derasnya globalisasi dalam teori maupun gejala dan masalah-masalah kemasyarakatan yang berhubungan satu sama lain.”
Dengan demikian, kami memandang betapa pentingnya pendidikan global tersebut untuk menyiapkan warga negara global, yakni warga negara yang mengetahui, memahami, serta menanggapi secara kritis berbagai masalah atau isu global yang mengemuka dalam kehidupan saat ini. Perlu diingat, bahwa akibat globalisasi yang terjadi dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan antarbangsa, dengan sendirinya menyebabkan timbulnya ketergantungan global antarbangsa yang antara lain direfleksikan dalam bentuk kerjasama antarbangsa. Di sinilah diperlukan warga negara yang memiliki wawasan global sebagai syarat pokok untuk melibatkan diri dalam berbagai bentuk partisipasi warga negara dalam kaitannya dengan meningkatnya hubungan atau interaksi antarbangsa di seluruh belahan dunia ini.
Mengingat argumentasi itu, tidaklah berlebihan kiranya muncul berbagai gagasan atau pemikiran untuk memperkuat ilmu pengetahuan sosial termasuk di dalamnya adalah pendidikan kewarganegaraan (civic education) untuk lebih berorientasi kepada pendidikan berwawasan global, dalam rangka mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara dunia (global citizen) yang memiliki komitmen dan tanggungjawab dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat bangsa, dan anggota masyarakat bangsa-bangsa di dunia ini. Dalam kaitan ini, patut disimak pendapat yang dikemukakan Robert Hanvey’s (Diaz, Massialas, Xanthopoulus, 1992) bahwa dimensi-dimensi dalam pendidikan global mencakup antara lain :
• Kesadaran perspektif, yakni kesadaran dan kemampuan mengapresiasi pikiran-pikiran orang lain di dunia ini, dan kesediaan menerima perbedaan pandangan yang terjadi.
• Kesadaran bangsa di planet jagat raya, yakni memahami secara mendalam tentang isu-isu global, peristiwa-peristiwa global, serta berbagai kondisi dalam kehidupan global.
• Kesadaran lintas-budaya : pemahaman umum tentang makna karakteristik budaya-budaya di dunia ini, memahami perbedaan serta persamaan antarkebudayaan tersebut.
• Pengetahun tentang dinamika global : kesadaran global akan adanya sistem internasional yang kompleks yang dilakukan baik oleh negara maupun bukan negara yang dilakukan saling ketergantungan dan saling membutuhkan antarbangsa.
• Kesadaran terhadap pilihan manusia : meninjau tentang strategi untuk melakukan tindakan atas berbagai isu lokal, nasional, dan internasional.

Pendidikan kewarganegaraan (civic education) sebagai bidang kajian atau ilmu yang menekankan fokus studinya kepada warga negara dan perilakunya, sangat relevan dengan upaya-upaya untuk mempersiapkan warga negara global tersebut.

Kamis, 28 Juli 2011

SOLUSI MASALAH DEFISIT DEMOKRASI


SOLUSI MASALAH DEFISIT DEMOKRASI


Konflik dan anarkis kelompok masyarakat pada beberapa kabupaten, baik sebelum pelaksanaan pemilukada 23 Juni 2010 maupun hari “H” dan pasca-pelaksanaan telah mengakibatkan kerusakan dan kerugian pada masyarakat maupun fasilitas publik. Itu terjadi antara lain di Soppeng, Luwu Utara, Toraja, dan Gowa.

Realitas ini rentan dipicu karena faktor-faktor antara lain; netralitas dan keutuhan anggota KPUD sebagai pelaksana sampai pada tingkat pelaksana baris depan dan sikap pemilih masih terjebak pada pragmatisme dalam menentukan pilihan.

Untuk mengantisipasi potensi negatif secara berkepanjangan di masa depan, perlu dipikirkan dalam dunia pendidikan formal dan partai politik serta kelompok prodemokrasi melakukan pendidikan multikultural.

Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki kepekaan dalam menangkap dan menghadapi gejala dan masalah sosial politik yang berakar pada perbedaan cara pandang dan poros politik yang berbeda.

Dalam Undang-undang Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 secara prinsip telah termaktub di Pasal (4), di mana dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), nilai-nilai keagamaan dan kultural.

Pendidikan multikultural dipandang efektif dan relevan diterapkan dalam upaya membangun sistem demokrasi substansial, terutama di era desentralisasi dan otonomi daerah serta masyarakat heterogen.

Karena pendidikan multikultural mendorong sikap hidup masyarakat atau warga negara untuk kohesif, solider, dan intimitas pada perbedaan-perbedaan cara pandang sikap berdasarkan ras, etnik, agama, budaya dan kebutuhan.

Pendidikan Multikultural memang sebuah konsep yang bertujuan untuk membangun pranata sosial yang inklusif, plural, interaktif dan toleran pada persamaan dan perbedaan, agar masyarakat memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memadai dalam realitas kehidupan kemasyarakatan yang plural.

Prinsip-prinsip utama pendidikan multikultural antara lain menekankan pada Pertama; mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya. Kedua; Terbuka dalam berpikir. Ketiga; apresiasi dan interdependensi. Keempat; Resolusi konflik dan rekonsiliasi nonviolence (tanpa kekerasan dan anarkis).

Belajar dari "pesta demokrasi lokal" atau pemilukada pada 10 kabupaten Juni lalu dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi dan otoda menjadi spirit baru terbangunnya kesadaran komunalitas berdasarkan emosi komunitas ras, etnis, agama dan budaya yang cenderung "semu", superior dan eksklusif. Selanjutnya rentan menjadi pemicu konflik (disadari atau tidak disadari)

Dan salah satu upaya strategis yang efektif dalam mendorong penguatan proses demokrasi lokal berkualitas dan bermartabat pada kehidupan masyarakat adalah implementasi pendidikan multikultural yang menekankan pada penyadaran sikap dan prilaku masyarakat yang simpatik, respek, apresiatif, dan empati.

Pertanyaan kemudian, adalah mungkin pendidikan multikultural di Sulawesi Selatan menjadi gagasan bersama dalam mendorong dan membangun iklim demokrasi lokal yang substantif, sehingga bukan hanya "mahasiswa" dan kelompok "prodemokrasi" lainnya yang dituding penghambat demokrasi (pelaku anarkis). Semoga menjadi gagasan besar bersama!!!



SOLUSI MASALAH REPRESENTASI BERMASALAH

Ir Soekarno mengatakan , “Di Bawah Bendera Revolusi” (1965), Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah ’pemerintahan rakjat’. Tjara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakjat untuk ikut memerintah. Tjara pemerintahan ini sekarang menjadi tjita-tjita semua partai nasionalis Indonesia. Tetapi dalam mentjita-tjitakan faham dan tjara pemerintahan demokrasi itu, kaum Marhaen toch harus berhati-hati. Artinya: djangan meniru sahaja ’demokrasi demokrasi’ yang kini dipraktekkan di dunia luaran….” Lebih dari empat puluh tahun yang lalu “putra sang fajar” telah mengingatkan kepada kita bahwa jangan hanya meniru sistem kerja seperti demokrasi yang dipraktekan di dunia luar. Soekarno mempunyai pandangan bahwa demokrasi ala Eropa tidak sesuai dengan kaum Marhaen di Indonesia. Demokrasi ala Eropa (demokrasi parlemen) hanya demokrasi politik saja sementara demokrasi ekonomi tidak ada. Soekarno menulis demokrasi politik saja belum menyelamatkan rakyat, oleha karena harus cari alternatif demokrasi yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Berawal dari krisis multi dimensi, Indonesia kembali mencari demokrasi, setelah demokrasi Pancasila yang disalah artikan dengan kekuasaan oleh rezim Orde Baru.
Pasca reformasi hingga saat ini Indonesia masih dibelenggu oleh berbagai permasalahan yang tidak kunjung berakhir. Seperti yang disebutkan oleh Deutser bahwa Indonesia dihadapi oleh empat masalah besar yaitu: pemulihan ekonomi, transisi demokrasi dan reformasi politik, desentralisasi, serta pendefinisian ulang atas identitas nasional. North berpendapat bahwa setiap perubahan besar (big – bang) yang radikal berpotensi menyebabkan perubahan dalam tatanan ekonomi dan politik. Apa yang terjadi di Indonesia adalah perubahan dari suatu pekerjaan ekstrem ke keadaan ekstrem yang lain yang tidak pernah menjanjikan. Akibatnya terjadi pergeseran yang radikal dari kekuasaan yang terpusat menjadi tersebar. Pada saat yang sama perubahan yang radikal itu tidak dapat mengatasi permasalahan pada masa transisi. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kita belum menemukan bangunan pemerintah yang dapat bekerja secara efektif dalam memecahkan masalah. Sejauh ini, institusional set-up dalam disain demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang lebih berhaluan liberal, mengalami berbagai hambatan serius. Dalam kasus Indonesia, perubahan itu belum menghasilkan institusi negara atau pemerintah yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang begitu kompleks. Pertama mengenai representasi yang bermasalah (kasus DPD). Demokrasi tidak bisa dimajukan karena lembaga-lembaga representasi yang berkualitas belum tersedia secara memadai. Kedua partai politik sat ini cenderung oligarki. Yakni dalam tubuh partai itu, pihak yang memiliki wewenang yang besar dalam organisasi hanya orang-orang sama dan tertentu saja Pencapaian pada fase kedua tahapan reformasi justru mengejutkan. Demokrasi yang kita selenggarakan ternyata belum mampu menjawab problem bangsa ini secara signifikan, tepat, dan menyentuh akar masalah. Mengutip pendapat Arie Sujito bahwa “kita belum memanen demokrasi sesungguhnya untuk negara berkembang seperti Indonesia yakni: rakyat yang sejahtera, politik yang demokratis, kekuasaan yang bebas KKN, demokratisasi hubungan sipil militer dan penegakan hukum yang kokoh”. Hal ini disebabkan karena kecenderungan proses demokratisasi di Indonesia hanya mengadopsi lembaga dan aturan main demokrasi barat tapi penerapannya masih disesuaikan dengan kondisi setempat. Seringkali relasi kekuasaan antara aktor politik tidak didasarkan atas faktor strategis rasional tapi diselubungi oleh faktor-faktor lain, seperti primordial (etnisitas), relijiusitas, dan sebagainya. Alasan ini diperkuat oleh L.H.M Ling dan Chih-yu Shih bahwa : “Demokrasi di Asia Tenggara adalah produk yang bercampur antara nilai lokal dan nilai demokrasi liberal. Asia Tenggara meminjam institusi dan norma politik Barat tapi penerapannya berdasarkan kondisi lokal. Implikasinya, negara mengatur banyak hal, teknokratis, dan mengatur diskursus politik di masyarakat. (Ling dan Shih, 1998 : 1)
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika demokrasi itu tidak diikuti oleh pemerataan hasil pembangunan ekonomi dan kesejahteraan maka akan menjadi bumerang, karena pertumbuhan ekonomi susah dicapai dan akhirnya peciptaan lowongan kerja yang baru sangatlah minim dimana hampir dapat dikatakan negatif. Sebab transisi demokrasi di Indonesia dihadapkan pada masalah sosial dan ekonomi yang akut. Bukankah tujuan kita memilih demokrasi sebagai sistem sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles adalah untuk good life. Kalau begitu apakah demokrasi merupakan sistem yang paling terbaik di dunia? Demokrasi hanya sekedar menawarkan peluang bukan kepastian atau jaminan keberhasilan. Lalu bagaimana dengan nasib demokrasi kita pasca reformasi? Nampaknya kita mulai dijangkiti penyakit kegamangan demokrasi yang dapat berujung pada frozen Democracy. Apa itu frozen democracy? George Sorensen memperkenalkan konsep demokrasi beku yang menggambarkan kondisi masyarakat dimana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Proses demokrasi mengalami pembusukan dikarenakan ketidak mampuan pemerintah yang berkuasa melakukan perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, terutama yang menyangkutr kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat miskin. John Markoff dalam bukunya Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku yaitu: kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian sosial politik hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas. Bukan bermaksud mengadili tapi nampaknya apa yang disebutkan John Markoff rupanya sedang terjadi di Indonesia. Pasca reformasi kondisi perekonomian makin tidak menentu, pengangguran dan orang miskin semakin banyak.
Masyarakat sipil tumbuh tetapi tidak disertai dengan ketertiban sosial dan keberadaban masyarakat. Kebebasan sipil yang dijamin konstitusi tidak punya arti bagi kelompok minoritas. Rupanya apa yang menjadi kekhawatiran bagi Fareed Zakaria (editor News week International) menjadi relevan. Demokrasi menjadi tidak liberal. Kebebasan politik mendapat tempat, tetapi kebebasan sipil (civil liberties), khususnya kebebasan beribadah kelompok minoritas, justru terancam (baca kasus ahmadiyah). Alih-alih mengharapkan terjadi konsolidasi, yang terjadi malah fragmentasi dikalangan elite. Hal ini tercermin dari model pemberantasan korupsi “tebang pilih” yang sarat dengan kepentingan dikalangan elite politik. Problem politik dan hukum dimasa lalu masih menyandera bangsa Indonesia (kasus Alm soeharto). Penyelesaian masalah hukum yang melibatkan aktor-aktor dimasa orde baru yang terlibat korupsi dan melanggar HAM mengalami kebuntuan. Aktor-aktor yang turut mencicipi lezatnya kue pembangunan sedang asik mencuci tangan. Mengacu pada empat indikator di atas boleh jadi Indonesia sedang menuju ke arah demokrasi yang beku. Demokrasi yang tidak memberi makna apa – apa bagi bangsanya. Ketika demokrasi dihadapkan pada berbagai masalah seperti kemiskinan, pengangguran dll maka pilihan terhadap demokrasi disalahkan. Lalu apa yang salah dengan demokrasi Indonesia? Apakah sistem demokrasi kita benar-benar lamban dalam merespons terhadap isu-isu yang ada atau kelambanan itu memang berasal dari para aktor-aktor atau elite yang jumlahnya tidak melebihi dari penonton sepakbola. Perilaku politik elit menjadi variabel yang signifikan dalam menjelaskan transisi ke demokrasi. Bahwa tumbuhnya demokrasi sangat dipengarubi oleh kemampuan para politisi atau elit untuk menghasilkan reformasi ekonomi dan inovasi kelembagaan dalam rangka mengatasi kendala lingkungan struktural yang ada Lucian W Pye meyakini bahwa demokratisasi akan sangat ditentukan oleh keberadaan politisi populer yang merupakan elit dalam suatu kekuatan masyarakat politik. Politisi populer ini menjadi the critical key to democracy karena merekalah yang menjalankan fungsi artikulasi dan pengelompokan kepentingan masyarakat serta memfasilitasi modernisasi dan demokratisasi sehingga dapat menghindarkan ketegangan maupun konflik di masyarakat Robert Dahl dalam buku On Democracy (1999) menyebutkan persyaratan penting bagi demokrasi, antara lain pengawasan militer/polisi oleh pejabat sipil, keyakinan demokrasi dan kebudayaan politik, serta tidak ada kontrol asing yang memusuhi demokrasi.
Mengutip pendapat Jack Snyder dalam buku Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (2003), bahwa “demokrasi Indonesia belumlah matang”. Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia yang dipresentasikan pada Mei 2006 mengonfirmasi keraguan orang akan demokrasi. Survei itu menunjukkan pandangan: demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik mencapai 72 persen. Padahal, di negara demokrasi yang sudah mapan dukungan terhadap demokrasi sebagai sistem terbaik rata-rata 84 persen. Pada tahun yang sama hanya 62 persen responden yang puas dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Untuk menjalankan sistem politik demokrasi dibutuhkan sosok yang mampu mengarahkan ke mana demokrasi akan dibawa. Yaitu seorang yang mempunyai pemahaman mengenai demokrasi, visi yang benar mengenai demokrasi, memiliki cara komunikasi politik yang penuh empati, serta mempunyai kecerdasan akademik dan emosional untuk membawa Indonesia ke dalam sistem politik demokratis. Demokrasi bukan hanya untuk demokrasi, tetapi demokrasi untuk good life. Apa yang menjadi cita-cita seperti yang tertera pada Pembukaan UUD 1945 itu harus dicapai dengan jalan demokrasi. Karena demokrasi bukan sekedar masalah kebebasan dan prosedur melainkan substansi. Kalau begitu apakah Indonesia butuh demokrasi? Mari kita refleksikan bersama! (http://go-kerja.com/)


Demokrasi Partisipatoris dan Parlementer
Kita tidaklah sedang menciptakan sebuah Transformasi sosial, rakyatlah yang melakukan Transformasi social, yang kita lakukan adalah mendorong kesadaran rakyat menuju Transformasi sosial dan mempersiapkan momentum itu.
Demokrasi merupakan sebuah sistem sosial yang muncul dari dialektika sejarah manusia yang mengorganisir dirinya kedalam sebuah kelompok dan mengatur pembagian kekuasaan di dalamnya. Sejak runtuhnya uni soviet di akhir tahun 80an, demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem yang ideal yang dapat mengatur masyarakat dengan lebih adil dan mendorong kepada kesejahteraan juga sebagai sistem politik yang dinamis dan secara internal sangat beragam. Seorang teoritisi politik menjelaskan bahwa bahwa demokrasi setidaknya memiliki 10 keunggulan, yaitu menghindari tirani, menjamin hak asasi, menjamin kebebasan umum, menentukan nasib sendiri, otonomi moral, menjamin perkembangan manusia, menjaga kepentingan pribadi yang utama, persamaan politik, menjaga perdamaian dan mendorong terciptanya kemakmuran.
Proses demokrasi yang dianggap ideal adalah proses keterwakilan seluruh demos dalam proses pengambilan keputusan. Model yang dianggap ideal dalam pemahaman ini adalah model demokrasi langsung (urform) seperti konsep klasik polis Athena yang dianggap tidak akan dimungkinkan untuk dilaksanakan dalam kondisi Negara yang besar secara territorial dan dalam kondisi Negara yang memiliki jumlah penduduk jutaan. Sehingga kemudian muncullah demokrasi representatif sebagai penyelesaian masalah penerapan demokrasi. Demokrasi representatif sangat menekankan pada fungsi kepartaian sebagai alat representasi warga dalam proses politik. Partai politik ini diyakini muncul dari keinginan rakyat menyatukan pendapat dan persepsi secara berkelompok untuk menentukan representasinya dalam pemerintahan. Namun, pada faktanya partai dalam sejarahnya tidaklah berasal dari consensus dan kesadaran rakyat akan tetapi hanya dipergunakan untuk memenangkan kandidat dan bentuknya pun hanya seperti kepanitiaan. Meskipun begitu, tidak diabaikan juga bahwa proses dialektika sejarah membawa beberapa partai menjadi wadah perjuangan ideologis.
Pemahaman kendala demokrasi langsung menyebar sebagaimana pemahaman akan demokrasi menyebar di seluruh dunia hingga apa yang disebut demokrasi dalam pemahaman dunia adalah demokrasi representative dan diluarnya adalah bukan demokrasi. Demokrasi dicerabut dari esensinya yaitu pendistribusian kekuasaan ekonomi politik dan consensus seluruh rakyat, referendum pun disebut sebagai peristiwa langka padahal sebenarnya proses itu intrinsic dalam demokrasi. Demokrasi representative juga dikemas dalam ide liberalisme dan menjadikannya intrinsic di dalamnya, demokrasi pun bicara mengenai jaminan hak privat (privilage), hak berserikat pun diartikan sebagai hak pendirian perusahaan, partisipasi dibatasi dalam koridor pemilihan umum dan stabilitas pun diperkenalkan di dalamnya. Semakin lama demokrasi semakin tereduksi menjadi penguasaan sekeolompok kecil orang atas sebagian besar orang.
Dalam demokrasi representative, populasi memilih satu orang kandidat yang mereka percayai untuk dapat mewakili aspirasi mereka duduk di dalam parlemen dimana kebijakan public di buat, pemilih menyerahkan semua hak demokratiknya kepada kandidat tersebut. Permasalahan yang muncul kemudian adalah si kandidat memiliki jarak yang sangat jauh dari massa yang memilihnya denan berbagai macam alasan, pemahaman bahwa massa memiliki hak partisipasi demokratik dalam suatu Negara dan ketika ia melakukan pemilihan haknya diberikan kepada si kandidat pun agaknya asing di tingkatan massa. Kebanyakan massa hanya menagannggap pemilu adalah sebuah ritual kenegaraan dan meraka adalah penonton yang inferior di dalamnya. Banyaknya jumlah populasi yang mengharuskan kandidat melakukan komunikasi terhadap pemilih pun telah mendegradasi kualitas komunikasi politik dengan menggantikannya dengan symbol kampanye dan tentunya hanya orang-orang tertentu sajalah yang mampu membiayai kampanye tersebut. Hal ini telah menjauhkan kandidat dari pemilih sekaligus menutup kemungkinan kelas bawah untuk dapat menjadi kandidat dalam proses electoral. Proses ini kemudian akan memunculkan oligarki dalam kekuasaan. Meskipun begitu, kapitalisme membutuhkan oligarki untuk memastikan akumulasi modal dapat terus terkonsentrasi dan aman dalam bentuk kepemilikan privat.
Oligarki kemudian dengan sendirinya menciptakan krisis legitimasi di tataran rakyat ketidakpercayaan terhadap proses maupun konsistensi kandidat terpilih untuk membawa aspirasi rakyat mulai muncul, singkatnya kita dapat mengambil contoh dengan maraknya jumlah golput pada setiap pemilihan umum di berbagai Negara. Hal ini disebabkan langsung oleh kesenjangan proses demokrasi yang telah dipaparkan sebelumnya. Parlemen menjadi tempat yang asing bagi rakyat bahkan dapat disebut sebagai tempat yang terlalu mewah bagi rakyat, aspirasi tidak lagi didengarkan karena dihalangi oleh peraturan atas nama demokrasi sehingga mengharuskan rakyat melakukan aksi massa untuk menyampaikan aspirasinya karena memang para anggota parlemen tidak pernah bersentuhan langsung dengan rakyat yang diwakilkan oleh mereka bahkan rakyatpun tidak mengenal mereka sementara semua hak demokratik rakyat telah di berikan kepada mereka.
Bagi oligarki, golput bukanlah sebuah permasalahan serius. Keengganan massa memilih perwakilannya dianggap sebagai tindakan demokratis atau kesalahan teknis dalam proses pemilu. Golput bukanlah ancaman bagi oligarki karena meskipun tingkat golput tinggi pemerintahan yang terpilih oleh minoritas pun tetap terligitimasi secara yuridis. Disamping itu juga, pada kenyataannya golput lebih menjadi tindakan apolitis dan keputusasaan parsial dari pemilih (rakyat) terhadap setiap pergantian kekuasaan yang tidak memberikan perubahan apapun.
Demokrasi parlementer dan Oligarki seakan-akan telah menjadi dua hal yang sebenarnya satu. Tidak ada perbedaan mencolok diantara keduanya bahkan bisa dikatakan sama saja, begitupun juga dengan demokrasi. Jika begini masih layakkah demokrasi dipertahankan? Jika masih layak, adakah alernatif bagi demokrasi?
Peristiwa pembangunan demokrasi di Venezuela yang mengikuti proses demokrasi kuba pasca keruntuhan soviet mulai menggemparkan kaum prodem di seluruh dunia, belum lagi ketika secara bertahap namun pasti beberapa Negara amerika latin lain ikut membangun demokrasi dengan metode yang hamper sama dan keberanian politik yang layak diperhitungkan. Metode ini membalik semua proses demokrasi yang ada dan secara bertahap mengembalikannya ke tangan rakyat, meskipun kita ketahui bahwa belum sepenuhnya. Lalu apakah perbedaannya dengan demokrasi yang ada di sebagian besar Negara-negara di dunia? Inilah pertanyaan yang paling krusial bagi demokrasi yang mereka jalankan.
Demokrasi yang sedang di beberapa Negara di amerika latin ini di sebut sebagai Demokrasi Partisipatoris. Demokrasi model ini menjadikan demokrasi yang sebelumnya hanya menjadi ritual kenegaraan menjadi sistem yang nyata di tengah-tengah massa. sistem demokrasi ini memungkinkan massa memberikan aspirasinya secara langsung, merubah elitism parlemen menjadi proses partisipatoris dikalangan base massa terendah, memungkinkan massa mengorganisir dirinya sendiri dan merencanakan programnya sendiri untuk mereka. Dalam proses ini juga consensus rakyat merupakan hal yang paling utama sehingga referendum dipastikan dapat dilakukan kapan saja (tentunya dengan syarat). sistem demokrasi partisipatoris ini juga mensyaratkan terorganisirnya rakyat di setiap level dan pendidikan politik dilakukan secara simultan di dalamnya, system ini kemudian menjadikan demokrasi sebagai sistem social yang muncul secara integral dalam masyarakat hingga kemudian rakyat dapat menyadari bahwa kekuasaan ada di tangan mereka.
Metode ini mulai dilakukan di amerika latin oleh kuba ketika hubungan kuba dengan uni soviet kian memburuk sampai kemudian klimaksnya terjadi pada keruntuhan uni soviet di akhir 80 an, embargo ekonomi dan sabotase-sabotase ekonomi-politik yang dilakukan amerika serikat memaksa masyarakat kuba untuk menorganisir dirinya sendiri dalam kelompok-kelompok masyarakat untuk menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Negara ini. Dewan-dewan rakyat yang sebelumnya tidak aktif dibawah pemerintahan castro yang pro soviet mulai diaktifkan oleh Negara dengan tuntutan paling mendasar menyelamatkan kesejahteraan dasar rakyat yaitu produksi pangan. Melalui dewan-dewan rakyat ini, rakyat mulai menggarap lahan-lahan kritis di seluruh kuba dengan tuntutan yang sederhana pula jika lahan kritis tidak dapat diperdayakan maka kebutuhan pangan rakyat tak akan terselesaikan. Dengan cepat kesadaran ini menyebar di seluruh rakyat, berbagai macam eksperimen pertanian dilakukan dengan teknologi tradisional hingga akhirnya lahan-lahan kritis tersebut dapat diberdayakan untuk pertanian kuba, produksi komoditas pertanian pun semakin membaik. Embargo bahan bakar juga memaksa masyarakat kuba mengkolektifkan kepemilikan atas kendaraan bermotor dan mempelajari otomotif secara otodidak.
Ketika kuba memulai hubungan dagang dengan perancis, dewan-dewan rakyat pun menuntut untuk jaminan kesejahteraan mendasar yaitu pendidikan dan kesehatan. Konsentrasi pada kedua tuntutan ini menjadikan kuba sebagai Negara dunia ketiga pertama yang bebas dari buta huruf dan memiliki supply tenaga kerja kesehatan yang berlimpah karena pendidikan kesehatan tidak dikenakan biaya apapun sehingga dapat memaksimalkan jumlah pekerja kesehatan di negeri ini. Ketika kuba mulai menalankan sistem perdagangan (perdagangan kuba di dalam negeri adalah industry jasa pariwisata) dan monoter pun, dual economic sistem diterapkan, dua mata uang berlaku di negeri ini yaitu peso dan dollar. Peso kuba bagi rakyat hanya seperti kupon dibandingkan uang. Namun dalam hal ini proses demokrasi partisipatoris di kuba tetap tidak dapat dilihat seara jelas kecuali proses elektoralnya yang memakan waktu dua setengah tahun.
Proses demokrasi partisipatoris yang dapat dipantau lebih jelas adalah proses demokrasi di Venezuela. Proses ini mirip dengan proses yang terjadi di kuba namun lebih terbuka. Demokrasi partisipatoris di Venezuela menggunakan dewan komunal sebagai tenaga pokoknya dalam agenda revolusi bolvarian mereka. Dewan-dewan komunal ini dibentuk di berbagai level massa untuk memutuskan kebutuhan mendasarnya melalui program-program kerakyatan yang mereka usulkan ke pemerintah, konstitusi Negara ini dirubah menjadi konstitusi yang lebih kerakyatan.
Proses electoral di Negara ini berlangsung seperti halnya proses electoral di negar-negara lain pada umumnya, oposisi pun dijamin keberadaannya. Namun, proses electoral venezuela memiliki perbedaan mendasar yaitu seluruh pemilih menyadari betul pentingnya member suara pada proses electoral. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Ya. Hal ini disebabkan oleh pengorganisiran lingkaran Bolivarian di barrios-barrios (desa) yang memungkinkan diskusi politik terjadi di seluruh tingkatan massa, konstitusi juga dibagikan di seluruh level massa, diskusi-diskusi mengenai konstitusi terjadi di setiap tempat, warung-warung keil dan pinggiran jalan-jalan di Venezuela. Tingkat golput pun menurun secara signifikan dari 65% sebelum Chavez berkuasa menjadi hanya 35% secara bertahap. Proses referendum kembali diaktifkan dan di informasikan kepada massa. Bahkan, aksi tanda tangan bisa menjadi pencabutan mandate rakyat terhadap pemerintahan yang berkuasa dan ini bisa dilakukan kapan saja jika pemerintah melakukan penyelewengan kekuasaan. Proses demokrasi ini memobilisasi seluruh rakyat untuk terlibat aktif didalamnya.
Efektifnya proses demokrasi partisipatoris in dalam menggalang kesadaran rakyat telah dibuktikan oleh rakyat Venezuela dan pemerintahan Chavez. Peristiwa kudeta di tahun 2002 ditanggulangi dengan mobilisasi rakyat dari kampong-kampung miskin dan desa-desa mengembalikan kekuasaan pada pemerintahan Chavez, sabotase ekonomi dari para kapitalis dijawab oleh rakyat pekerja dengan okupasi terhadap pabrik-pabrik yang ditinggalkan, program-program kerakyatan direncanakan, dioperasionalisasikan dan di awasi langsung oleh rakyat melalui dewan komunal.
Melihat proses ini, pertanyaan yang mendasar bagi kita adalah bagaimana dengan Indonesia? Jika dibandingkan dengan Indonesia, proses demokrasi Venezuela jelas sangat berbeda bahkan saling bertolak belakang. Indonesia, sebagaimana Negara-negara ‘demokratis’ pada umumnya meletakkan demokrasi pada pengertian ritual pemilu dan elitism parlemen, partisipasi politik rakyat hanya terjadi pada masa pemilu, tingkat golput semakin meningkat, rakyat buta politik, terlebih lagi proses referendum jangan harap proses ini dikenal oleh rakyat Indonesia. Seluruh proses yang terjadi di Venezuela merupakan hal yang asing bagi rakyat Indonesia bahkan tidak terpikirkan.
Jika kita mengambil contoh di Venezuela dan kuba, kita dapat menemukan bahwa terdapat sebuah proses ekonomi politik yang memaksa rakyat merubah paradigmanya terhadap demokrasi yang sudah diterapkan. Perubahan structural ekonomi politik merupakan factor utamanya, perubahan inilah yang mendorong perubahan kesadaran secara massal di tingkatan massa. Bisa kita ambil contoh embargo ekonomi terhadap kuba dan sabotase ekonomi di Venezuela, proses politik seperti percobaan pembunuhan terhadap castro dan kudeta atas pemerintahan chavez juga mendorong kesadaran rakyat untuk berperan serta dalam politik. Hal lain yang menggerakkannya juga dapat kita ambil dari perubahan struktur politik di kuba dan lingkaran Bolivarian di Venezuela yang. Kita bisa membagi kedua factor tersebut sebagai momentum dan kepemimpinan politik. Kedua factor inilah yang membuat demokrasi partisipatoris jadi memungkinkan untuk di terapkan. Demokrasi partisipatoris membutuhkan kesadaran partisipasi aktif dari rakyat dan alat atau wadah partisipatorisnya.
Pertanyaan bahwa apakah terdapat kemungkinan diterapkannya demokrasi partisipatoris di Indonesia, jawabannya adalah ada kemungkinannya. Meskipun tidak menemukan momentum seradikal kuba, dalam beberapa tahap keadaan di Indonesia hamper serupa dengan Venezuela dan Negara dunia ketiga lainnya. Pembentukan demokrasi partisipatoris di Venezuela pun tidak dilakukan secara parsial dari rangkaian gerak ekonomi politik Venezuela, begitupun juga kemungkinan yang ada di Indonesia. Demokrasi partisipatoris sebagai ide untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh kaum prodemokrasi dan kaum progresif lainnya di Indonesia dengan meluaskan pembangunan organisasi-organisasi rakyat.
Demokrasi sebagai sebuah sistem social harus dibentuk dari sistem social itu sendiri melalui pengorganisiran di tingkatan rakyat dan mengenalkan proses demokrasi ini dalam bentuk tindakan keseharian dalam pengorganisiran. Membangun kesadaran rakyat melalui proses demokratis dan menjadikan demokrasi sebagai nilai social di tingkatan rakyat. this article wan on http://www.rumahkiri.net




Problem Pemerintahan Demokratis
Oleh: A Muhaimin Iskandar

________________________________________
NAIKNYA Megawati Soekarnoputri ke puncak kekuasaan, telah memunculkan harapan dan optimisme baru. Harapan ini muncul setelah pendahulunya, Abdurrahman Wahid, dianggap gagal membangun kembali bangsa ini. Namun, satu tahun pemerintahan berjalan, harapan itu perlahan-lahan hilang. Buruknya kinerja pemerintahan, dinilai menjadi penyebab utama.
Di bidang ekonomi, misalnya, kurs rupiah masih amat fluktuatif; kebijakan membuka diri terhadap investor belum berhasil; pemerintah justru terus meningkatkan utang luar negeri; penyiapan lapangan kerja belum tersedia, sehingga jumlah pengangguran makin membengkak.
Di bidang hukum, pemerintah belum menunjukkan kinerja dan komitmennya. Ini ditunjukkan oleh tidak seriusnya pemerintah mengungkap kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), lemahnya aparat penegak hukum menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh, Tanjung Priok, dan pelanggaran-pelanggaran di tempat lain. Begitu juga upaya penyelesaian konflik di sejumlah tempat, tidak berhasil. Di Aceh, Maluku, dan sejumlah daerah, konflik masih masih terjadi.
Kebijakan kesejahteraan sosial juga belum menunjukkan hasil memuaskan. Pemerintah tidak mampu mengatasi kian melambungnya harga kebutuhan bahan pokok, bahkan, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2002 pemerintah justru menaikkan harga rata-rata bahan bakar minyak (BBM) sebesar 22 persen, menaikkan harga tarif dasar listrik (TDL), dan menaikkan tarif telepon sebesar 30 persen. Kebijakan pemerintah itu bukannya membuat kesejahteraan masyarakat bertambah baik, sebaliknya masyarakat makin tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ke masa lalu
Pergantian dari rezim otoriter ke demokratis, sering meninggalkan sejumlah masalah. Sederet masalah mulai dari membengkaknya utang luar negeri, meningkatnya jumlah kemiskinan, inflasi yang tak terbendung, menguatnya gerakan sparatisme, sampai rumitnya penuntasan pelanggaran HAM berat maupun ringan, menjadi pekerjaan pertama yang harus secepatnya diatasi pemerintahan baru.
Upaya penyelesaian sejumlah persoalan itu akan menentukan, apakah rezim demokratis mampu mengonsolidasikan dirinya dengan kuat atau gagal. Dalam banyak kasus, pemerintahan baru selalu dipaksa menyelesaikan persoalan itu agar dapat memelihara dan memperkuat legitimasinya. Jika gagal, taruhannya adalah degradasi legitimasi yang akan berdampak bagi terganggunya konsolidasi demokrasi.
Pertanyaannya, apakah negara demokrasi baru, terutama di dunia ketiga, mampu mengatasi dan menuntaskan sejumlah persoalan itu? Dalam kenyataannya, rezim-rezim itu memang berhasil mengatasi masalah tertentu. Namun, pada sebagian besar kasus, tampaknya ia tidak mampu menangani masalah-masalah ini secara efektif dan cepat dibanding pemerintahan sebelumnya yang otoriter. Untuk sekian waktu lamanya, persoalan-persoalan itu tetap mengambang dan tidak ada alternatif penyelesaiannya.
Dengan situasi seperti itu, apakah demokrasi menjadi terancam? Bagi sebagian negara boleh jadi demikian. Di Filipina, Peru, dan Guatemala misalnya, proses demokrasi mendapat tekanan berat. Tekanan itu adakalanya muncul dari kekuatan baru yaitu oposisi, namun yang paling berat justru dari elemen-elemen lama yang telah terkonsolidasi kembali.
Kegagalan mengatasi sejumlah persoalan warisan ini, menurut Huntington (1991) berkonsekuensi pada munculnya empat sikap atau perilaku masyarakat.
Pertama, munculnya kekecewaan yang kemudian berimplikasi pada sinisme dan penarikan diri dari dunia politik alias
apatis. Pada masa transisi biasanya ditandai oleh tingginya animo masyarakat terhadap pemilihan umum, namun seiring ketidakmampuan pemerintahan baru, pengakuan masyarakat kemudian menurun drastis.
Kedua, kekecewaan sering mewujud dalam reaksi menentang pemerintah. Ekspektasi masyarakat yang begitu tinggi, ternyata tidak mampu dipenuhi pemerintah. Akibatnya, masyarakat berbalik pada kekesalan yang berujung pada perlunya melakukan tindakan untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Ketiga, kekecewaan terhadap pemerintahan demokratis kadang bukan reaksi yang bersifat antikemapanan. Dalam hal ini para pemilih tidak hanya menolak partai politik yang berkuasa, mereka juga menolak kelompok alternatif utama yang ada dalam sistem itu dan memberi dukungan kepada kekuatan di luar sistem.
Keempat, yang paling ekstrem dan paling mencemaskan bila kekecewaan masyarakat tidak ditujukan kepada kelompok atau partai politik yang sedang memerintah, tetapi ditujukan kepada sistem demokrasi yang dianggap tidak memberi solusi bagi penyelesaian masalah. Mungkin ini merupakan kekecewaan fundamental dan paling berbahaya terhadap penerimaan dan eksistensi demokrasi.
Sejumlah kekecewaan itu akhirnya akan memunculkan sikap kembali ke masa lalu (back to the past). Masyarakat akan melirik pemerintahan masa lalu. Alasannya, meski otoriter, pemerintahan masa lalu dianggap dianggap lebih mampu dibanding pemerintahan dengan sistem demokrasi. Bahkan, masyarakat tidak terlalu peduli, dengan sistem otoriter atau demokrasi, yang penting bisa memenuhi segala kebutuhannya dan mampu menuntaskan segala persoalan.
Fakta ini pernah terjadi di Spanyol, kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan diktator di bawah Franco tentang standar hidup, penegakan hukum, ketertiban, dan keadilan sosial antara tahun 1978 sampai 1984 meningkat drastis. Tahun 1987, tujuh tahun setelah pengukuhan demokrasi, penduduk kota Lima memilih Jenderal Juan Valesco, diktator Peru, sebagai presiden terbaik dibanding rezim sesudahnya yang demokratis. Dan yang paling dramatis adalah polling tahun 1993 yang menunjukkan 39 persen penduduk Moskwa dan St Pettersburg mengatakan, kehiduan yang lebih baik justru diperoleh ketika penguasa komunis berkuasa dan hanya 27 persen yang mengatakan ketika ada di bawah pemerintahan demokratis.
Lingkaran setan
Meski lamban, bahkan gagal menuntaskan sejumlah persoalan itu, tidak berarti menyebabkan jatuhnya pemerintahan demokratis. Namun, secara signifikan berpotensi mengancam legitimasi dan efektivitas kinerja pemerintahannya. Akibatnya, rezim demokratis ada dalam lingkaran setan; merosotnya legitimasi akan berakibat tidak efektifnya kinerja pemerintah; sementara, ketidakefektivan kinerja menyebabkan merosotnya legitimasi.
Pada akhirnya, problem ini akan memunculkan kerapuhan pondasi kekuasaan. Karena itu, stabilisasi kekuasaan rezim demokratis amat tergantung pada upaya dan kemampuan kelompok-kelompok elite politik yang utama-para pemimpin partai politik, pemimpin militer, teknokrat atau konglomerat-untuk secara sinergis menuntaskan masalah-masalah yang dihadapi rakyat.
Selanjutnya, pihak oposisi menahan diri dari upaya mengeksploitasi sejumlah persoalan guna meraih keuntungan politik atau material secara langsung. Ini mungkin sulit dilakukan, mengingat sistem demokrasi identik dengan pengakuan kelompok-kelompok kritis yang selalu mengawasi jalannya pemerintahan.
Terakhir, stabilitas demokrasi juga tergantung kemampuan publik untuk memilah-memilah atau membedakan sistem demokrasi itu sendiri dengan pelaku atau pemerintah. Artinya, kekecewaan masyarakat tidak serta merta ditujukan kepada penolakan terhadap sistem dan konsep-konsep dasar demokrasi, tetapi lebih diarahkan pada kegagalan para pelaku atau elite politik yang sedang memerintah.
Meski sulit dilakukan, namun, untuk menyelamatkan sistem demokrasi, maka pembedaan-pembedaan seperti ini perlu dilakukan. Kendalanya mungkin terletak pada kesulitan masyarakat untuk membedakan antara kegagalan pelaku pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya dengan sistem demokrasi yang menjadi dasar suatu pemerintahan.
Meski fenomena ini selalu menjadi problem bagi pemerintahan baru, namun, rasanya tidak ada jalan lain bagi pemerintah dan elite politik, kecuali bersama-sama secepatnya menuntaskan persoalan-persoalan di atas untuk mencegah munculnya sikap sinis dan apatis masyarakat.
A Muhaimin Iskandar Wakil Ketua DPR