Minggu, 21 Agustus 2011

Aliran-aliran Pemikiran yang Mempengaruhi Terbentuknya Sosiologi Hukum



Filsafat hokum bagian dari disiplin ilmu hukum, telah mempunyai tradisi yang lama, dan telah dikembangkan oleh ahli-ahli pemikir yang tersohor. Filsafat hukum tersebut yang terutama berusaha untuk menghayati arti dan hakikat hukum, telah banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang berguna. Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa hasil-hasil dari para ahlipemikir tadi tidak semuanya dapat dijadikan pegangan.hal ini terutama disebabkan oleh karena timbulnya usaha-usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti misalnya : apakah hukum itu?. Apakah keadilan, apakah hokum yang tidak baik dapat dinamakan hukum?. Dst.
Hal itu yang menempatkan para sosiolog dalam kedudukan yang sulit untuk dapat menerima cara-cara filsafat hokum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bahkan timbul masalah apakah pertanyaan tersebut dapat di jawab dengan sempurna dan memuaskan. Sebab sudah menjadi cirri-ciri dari aliran-aliran atau mazhab-mazhab teori hukum untuk menerapkan teknik-teknik analisa yang tidak bersifat emiris. Dalam usaha-usaha untuk menjawab pertanyaan tentang arti hukum,seringkali dikemukakan bagaimana hukum itu seharusnya.
Dari sudut sejarah, istilah “sosioligi hukum” untuk pertama kalinya digunakan oleh seorang itali yang bernama Anzilotti pada tahun 1882. Sosiologi hukum pada hakikatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran dari ahli pemikir, baik dibidang filsafat (hukum), ilmu hukum maupun sosiologi, hasil-hasil pemikiran tersebut tidak saja berasal dari individu-individu, akan tetapi mungkin pula berasal dari mazhab-mazhab atau aliran-aliran yang mewakili sekelompok ahli-ahli pemikir yang pada garis besarnya mempunyai pendapat-pendapat yang tidak banyak berbeda.




A. Hasil Pemikiran Para Ahli Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum
Ada berbagi factor yang menyebabkan para ahli hukum kemudian menerjunkan diri ke dalam bidan filsafat hukum. Pertama-tama dapat dikemukakan sebagai sebab, yaitu timbulnya kebimbangan akan kebenaran dan keadilan (dalam arti kesebandingan) dari hukum yang berlaku. Lagipula timbul pendapat yang berisikan ketidakpuasan terhadap hukum yang berlaku. Oleh karena itu hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat yang diaturnya. Ketidakpuasan tersebut diatas dapat dikembalikan pada beberapa factor, yaitu antara lain : ketegangan-ketegangan yang timbul antara kepercayaan (khususnya agama) dan hukum yang sedang berlaku. Hal ini disebabkan oleh karena tidak jarang peraturan-peraturan kepercayaan atau keyakinan yang dianut, tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, atau sebaliknya.
Dengan demikian maka timbul usaha-usaha untuk mengatasi kepincangan yang ada dengan jalan mencari pengertian-pengertian tentang dasar-dasar hukum yang berlaku untuk disesuaikan dengan dasar-dasar agama.
Disamping gejala tersebut, timbul pula keteganagan antara hukum yang berlaku dengan filsafat, hal mana disebabkan oleh karena perbedaan antara dasar-dasar dari hukum yang berlaku, dengan pemikiran orang dibidang filsafat. Kesangsian akan kebenaran serta keadilan (dalam arti kesebandingan) dari hukum yang berlaku timbul pula, terlepas dari pada system suatu agama maupun filsafat. Kesangsian terutama ditujukan terhadap nilai peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Artinya adalah bahwa isi dari pada peraturan-peraturan yang berlaku tidak dianggap adil dan dianggap pula sebagai tak dapat dipergtunakan sebagai ukuran untuk menilai perilaku orang. Di dalam hal ini terdapat suatu ketegangan antara peraturan-peraturan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dengan pendirian-pendirian mrengenai peraturan-peraturan tersebut. Lagi pula perlu di catat bahwa setiap pemikiran sistematis terhadap disiplin hukum, senantiasa berhubungan dengan filsafat dan politik.
Dengan demikian maka filsafat hukum terutama bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai pada dasar-dasar filsafatnya. Hasil-hasil pemikiran para ahli filsafat hukum tersebut terhimpun dalam berbagai mazhab atau aliran, antara lain sebagai berikut:
1. Mazhab Formalitas
Berbagai ahli filsafat hukum menekankan betapa pentingnya hubungan antara hukum dengan prinsip-prinsip moral (yaitu etika dalam arti sempit) yang berlaku umum. Lain-lain ahli filsafat hukum, yang biasanya disebut kaum positivis, sebaliknya berpendapat bahwa hukum dan moral merupakan dua bidang yang terpisah serta harus dipisahkan.

RINGKASAN MATERI HAKIKAT BANGSA & NEGARA



1. Pentingnya Pengakuan Suatu Negara Oleh Negara Lain

Pengakuan dari negara lain bukan merupakan syarat mutlak adanya suatu negara karena unsur ini bukan merupakan unsur pembentukan suatu negara. Pengakuan dari negara lain merupakan syarat deklaratif, artinya hanya bersifat menerangkan tentang adanya suatu negara. Pengakuan merupakan permasalahan politik dari pada permasalahan hukum dengan kata lain, pertimbangan politik banyak mempengaruhi pemberian pengakuan dari negara lain. Tujuan pengakuan yaitu: untuk mengawali dan menjalin hubungan resmi antara negara yang diakui dengan negara yang mengakui.
Dua cara pembarian pengakuan menurut Starke :
1. Tegas (express)
Pemberian pengakuan yang dinyatakan secara resmi berupa nota diplomatik, pesan pribadi kepada kepala negara atau menteri luar negeri, pernyataan parlemennya atau dengan traktat.
2. Tidak tegas (Implied)
Pengakuan yang dapat di lihat dari adanya hubungan tertentu antar negara yang mengakui dan negara baru atau pemerintah baru.

Dua teori pengakuan yang saling bertentangan
1. Teori konstitutif
Teori yang menyatakan bahwa hanya tindakan pengakuan yang dapat menciptakan status kenegaraan atau yang melengkapi pemerintah baru dengan otoritasnya dilingkungan internasional.





2. Teori deklaratif
Teori yang menyatakan bahwa status kenegaraan atau otoritas pemerintah baru telah ada sebelum adanya pengakuan dan status ini tidak tergantung pada pengakuan. Tindakan pengakuan semata-mata hanya pengumuman resmi terhadap situasi dan fakta yang ada.

2. Alasan Suatu Negara Mengakui Keberadaan Negara Lain

Pengakuan dari negara lain (deklaratif) meskipun bukan merupakan unsur pembentuk (Konstitutif) namun dalam tata hubungnn internasional sangat diperlukan. Sebab dalam tata hubungan internasional status negara merdeka merupakan persyaratan yang harus dipenuhi.

Faktor perlunya pengakuan :
1. adanya kekhawatiran akan kelangsungan hidupnya baik ancaman dari dalam (kudeta) maupun karena intervensi dari negara lain.
2. Ketentuan hukum alam yang tidak dapat dielakkan bahwa suatu negara tidak dapat bertahan hidup tanpa bantuan dan kerja sama dengan bangsa lain. Ketergantungan terhadap bangsa-bangsa lain itu sangat nyata, misalnya dalam memecahkan masalah ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.

Pengakuan dari Negara Lain Bersifat :
1. Pengakuan secara de fakto
Pengakuan secara de fakto diberikan kalau suatu negara baru sudah memenuhi unsur konstitutif dan juga telah menunjukkan diri sebagai pemerintahan yang stabil. Pengakuan secar de fakto adalah pengakuan tentang kenyataan (nyata) adanya suatu negara.







Pengakuan de fakto dibedakan menjadi:
- Pengakuan de facto berdifat sementara
Pengakuan yang diberikan oleh suatu negara tanpa melihat bertahan atau tidaknya negara tersebt di masa depan. Kalau negara tersebut jatuh hancur, maka negara tersebut akan menarik pengakuannya.
- Pengakuan de facto bersifat tetap
Pengakuan dari negara lain dari suatu negara hanya bisa menimbulkan hubungan di bidang ekonomi dan perdangan.

2. Pengakuan secara de jure
- Pengakuan de jure bersfat tetap
Pengakuan dari negara lain berlaku untuk selama-lamanya setelah melihat adanya jaminan bahwa pemerintah baru tersebut akan stabil dalam jangka waktu yang cukup lama.
- Pengakuan de ture bersifat penuh
Terjadi hubungan antar negara yang mengakui dan diakui meliputi hubungan dagang ekonomi, dan diplomatik. Negara yang mengakui berhak menempatkan konsuler atau membuka kedutaan.

3. Semangat Kebangsaan (Patriotisme dan Nasionalisme)
a. Nasionalisme
Kata ”nasionalisme” secara etimologis berasal dari kata”nasional” dan ”isme”, yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air, memiliki rasa kebanggaan sebagai bangsa atau memelihara kehormatan bangsa.
Menurut ensiklopedia indonesia, nasionalisme diartikan sebagai sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dengan demikian, mearsakan adanya kesetiaan mendalam terhadap kelompok bangsa itu.
Nasionalisme dalam makna persatuan dan kesatuan merupakan bentuk sebuah kesadaran keanggotaan di suatu bangsa yang secara potensial dan aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, kemakmuran dan kekuatan bangsa.

Pemahaman tentang nasionalisme dibagi menjadi:
- Nasionalisme dalam arti sempit
Diartikan sebagai perasaan kebangsaan atau cinta terhadap bangsanya yang tinggi ataau berlebihan, sehingga memandang negara lain.

- Nasionalisme dalam arti luas
Perasaan cinta atau bangga terhadap tanah air dan bangsanya denagn tetap menghormati bangsa orang lain karena mersa sebagai bagian dari bangsa lain juga. Oleh karena itu nasionalisme dalam arti lusa, mengandung prinsip-prinsip: kebersamaan, persatuan dan kesatuan, demokrasi atau demokratis.

b. Patirotisme
Makna ” Patriotisme ” yang berasal dari kata ”patriot” dan ”isme” yang merupakan sifat kepahlawanaan atau jiwa pahlawan, atau heroims dan patirotism (inggris) adalah sikap yang gagah berani, pantang menyerah dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Sikap patriotisme merupakan sikap yang bersumber dari perasaan cinta pada tanah air sehingga menimbulkan kerelaan berkorban untuk bangsa dan negara.
Penjawatan sikap patriotisme pasca kemerdekaan
- menegakkan hukum dan kebenaran
- meningkatkan kemampuan diri secara optimal
- memajukan pendidikan
- memelihara persatuan dan kesatuan
- menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Semangat kebangsaan bagi setiap warga negara, harus dapat dijadikan motivasi spiritual dan horisontal karena dengan mengerti dan memahami pentingnya semangat kebangsaan bagi setiap waerga negara, diharapkan mampu melahirkan jiwa nasionalisme ( cinta tanah air) dan patriotisme dengan tetaap menjunjung :
1. Mengedepankan keserasian, keselarasan, dan keharmonisan hidup yang dilandasi oleh nilai-nilai ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
2. Mengutamakan atau menunjukan keselarasan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
3. Mengedepankan sikap keadilan sosial dalam hidup berbangsa dan bernegara.
4. Menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), tidak diskriminatif, dan bersikap demokratis.
5. Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan keadaban manusia.


4. Penerapan Semangat Kebangsaan.
Patritisme tidak dapat dipisahkan dengan nasionalisme, karena keduanya merupakan perwujudan semangat ke\bangsaan para penyelenggara negara dituntut memiliki kemampuan dalam upaya menegakkan kebenaran dan keadilan serta mengantisipasi berbagai ancaman terhadap negara baik dari dalam maupun dari luar, demi keutuhan negara dan kepentingan rakyatnya.
Semangat kebangsaan dapat dilakukan dengan cara:
a. Keteladanan
Merupakan sikap dan perilaku yang patut dicontoh dan ditiru karena perkataan dan perbuatannya.
Contoh :
- Belajar keras dan disiplin dalam mengejar preestasi
- Membayar pajak tepat waktu
- Memahami peraturan berlalu lintas


b. Pewarisan
Merupakan cara atau proses menurunkan, memberikan atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lain berupa nilai-nilai, sikap dan perilaku terpuji pada genersi berikutnya.
Contoh :
- Tulus ikhlas dalam membantu ornag yang terkena musibah
- Terbiasa belajar dan bekerja tepat waktu.
- Berkata jujur dan bertanggung jawab dalam mengemban amanah.

c. Ketokohan
Merupakan sosok seorang yang terkenal dan disegani karena pengaruhnya sangat besar didalam masyarakat. Dalam semangat kebangsaan, ketokohan perlu dijadikan sandaran pedoman guna memberikan motivasi dan semangat bagi generasi muda.
Contoh :
- Tidak cepat puas dalam suatu prestasi
- Ingin selalu memberikan yang terbaik
- Rajin membantu atau sedekah kepada orang lain yang membutuhkan.

Nilai yang terdapat dalam perjuangan Bangsa Indonesia
a. Nilai Persatuan
salah satu nilai kepahlawanan yang dimiliki oleh para pejuang bangsa Indonesia adalah mampu menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa diatas kepentingan pribadi atau golongan.
b. Nilai Pengorban
Nilai kepahlawanan yang mampu meruntuhkan belenggu penjajahan di Indonesia adalah nilai pengorbanan yang dimiliki para pahlawan. Pengorbanan yang dimaksud bukan merupakan pengorbanan untuk dirinya atau demi keluarga dan golongannya.

c. Nilai Kecintaan
Kuatnya semangat pengorbanan dan persatuan para pahlawan karena didasari oleh rasa cinta yang tinggi terhadap bangsa dan negara Indonesia.

d. Nilai Kebanggaan
Bangga sebagai bangsa Indonesia dapat menimbulkan sikap rela berkorban untuk kepantingan bangsa dan negara. Dengan kebanggaan itulah, bangsa Indonesia merasa bahwa harkat dan martabat bangsa harus tetap diperhatikan agar senantiasa lestari.

Sikap yang perlu dikembangkan
- Berani membela kebenaran dan keadilan.
- Rela berkorban demi kepentingan bangsadan negara.
- Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
- Menanamkan jiwa dan sengat perjuangan mempertahankan kemerdekaan melelui jalur mata pelajaran.

GEOSTRATEGI INDONESIA


Pada awalnya geostrategi diartikan sebagai geopolitik untuk kepentingan militer atau perang. Di Indonesia geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, melalui proses pembangunan nasional. Karena tujuan itulah maka ia menjadi doktrin pembangunan dan diberi nama Ketahanan Nasional. Mengingat geostrategi Indonesia memberikan arahan tentang bagaimana membuat strategi pembangunan guna mewujudkan masa depan yang lebih baik, lebih aman, dan sebagainya, maka ia menjadi amat berbeda wajahnya dengan yang digagaskan oleh Haushofer, Ratzel, Kjellen dan sebagainya.

Indonesia tentu patut mewaspadai perkembangan yang terjadi terutama di kawasan Asia Pasifik. Sebab konsekuensi letak geografis Indonesia di persilangan jalur lalu lintas internasional, maka setiap pergolakan berapapun kadar intensitas pasti berpengaruh terhadap Indonesia. Apalagi jalur suplai kebutuhan dasar terutama minyak beberapa negara melewati perairan Indonesia. Jalur pasokan minyak dari Timur Tengah dan Teluk Persia ke Jepang dan Amerika Serikat, misalnya, seIndonesiar 70% pelayarannya melewati perairan Indonesia. Karenanya sangat wajar bila berbagai negara berkepentingan mengamankan jalur pasokan minyak ini, termasuk di perairan nusantara, seperti, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar, Selat Ombai Wetar, dan lain-lain. Pasukan Beladiri Jepang secara berkala dan teratur mengadakan latihan operasi jarak jauh untuk mengamankan area yang mereka sebut sebagai "life line," yakni, radius sejauh 1000 mil laut hingga menjangkau perairan Asia Tenggara. Hal yang sama juga dilakukan Cina, Australia, India, termasuk mengantisipasi kemungkinan terjadi penutupan jalur-jalur vital tersebut oleh negara-negara di seIndonesiarnya (termasuk Indonesia.) Keberadaan Indonesia dipersilangan jalur pelayaran strategis, memang selain membawa keberuntungan juga mengandung ancaman. Sebab pasti dilirik banyak negara. Karena itu sangat beralasan bila beberapa negara memperhatikan dengan cermat setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia. Australia misalnya, sangat kuatir bila Indonesia mengembangkan kekuatan angkatan laut, yang pada gilirannya dapat memperketat pengendalian efektif semua jalur pelayaran di perairan nusantara.Penetapan sepihak selat Sunda dan selat Lombok sebagai perairan internasional oleh Indonesia secara bersama-sama ditolak oleh Amerika Serikat, Australia, Canada, Jerman, Jepang, Inggris dan Selandia Baru. Tentu apabila dua selat ini menjadi perairan teritorial Indonesia, maka semua negara yang melintas di wilayah perairan ini harus tunduk kepada hukum nasional Indonesia, tanpa mengabaikan kepentingan internasional

Karakteristik Warga Negara


Siapakah yang disebut warga negara (citizen) itu, dan bagaimana karakteristiknya? Ini pertanyaan penting yang berkait dengan suasana globalisasi yang saat ini sangat terasa dalam kehidupan kita. Untuk menjawab pertanyaan itu, patut disimak pendapat yang dikemukakan Korten (1993), bahwa warga negara global adalah warga negara yang bertanggungjawab untuk memenuhi persyaratan institusional dan kultural demi kebaikan yang lebih besar bagi masyarakat. Sifat khas seorang warga negara yang bertanggungjawab terlihat dari komitmennya terhadap nilai-nilai integratif dan terhadap penerapan aktif kesadaran kritisnya : kemampuan untuk berpikir mandiri, kritis dan konstruktif, kemampuan untuk melihat masalah dalam konteks jangka panjang, dan untuk membuat penilaian berdasarkan suatu komitmen kepada kepentingan masyarakat jangka panjang.
Menurut Korten, dalam melaksanakan warga negara tersebut terdapat sarana yang dipergunakan warga negara untuk menetapkan identitas dan pengakuan sah atau usaha bersama mereka. Sarana tersebut adalah organisasi sukarela yang menyediakan sistem dukungan organisasi dan sarana untuk menggerakkan sumberdayanya untuk upaya-upaya yang menuntut lebih dari tindakan individual.
Istilah warga negara global yang dikemukakan Korten, merupakan istilah yang menunjuk kepada tingkatan kewarganegaraan. Warga negara global merupakan tingkatan lebih lanjut dari tingkatan warga negara komunal, dan warga negara nasional.
John Cogan memberikan beberapa karakteristik warga negara yang dikaitkan dengan kecederungan global yang terjadi saat ini. Karakteristik tersebut meliputi :
• Mendekati masalah dari sudut pandang masyarakat global.
• Bekerja bersama dengan orang lain.
• Bertanggung jawab terhadap peran dan tanggung jawab masyarakat.
• Berpikir secara kritis dan sistematis.
• Menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan.
• Mengadopsi cara hidup yang melindungi lingkungan.
• Menghormati dan mempertahankan hak asasi.
• Berpartisipasi dalam masalah publik pada semua tingkat pembelajaran civics; dan memanfaatkan teknologi berbasis informasi.

Sementara itu, menurut pendapat Kanter sebagaimana dikutip Wisnubrata (2001), menyebutkan ada tiga ciri manusia kelas dunia (world class), yaitu konsep (concept), kompetensi (competence), dan koneksi (connection). Concept berkaitan dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan gagasan-gagasan mutakhir. Sedangkan competence berkenaan dengan pengembangan kemampuan untuk bekerja secara multidisiplin. Kemudian, connection berhubungan dengan pengembangan jaringan sosial (social network) untuk melakukan kerjasama secara informal.
Selanjutnya, Wisnubrata (2001) menambahkan dua syarat lagi untuk melengkapi syarat manusia kelas dunia sebagaimana dikemukakan Kanter. Dua syarat itu adalah kredibilitas (credibility), dan kepedulian (caring). Kredibilitas berhubungan dengan integritas : jujur, menjalankan apa yang dikatakan (walk the talk), memegang teguh janji, berlaku adil, sehingga akan membangun rasa percaya (trust), dan rasa hormat (respect) dari orang lain. Kemudian kepedulian (caring) yakni peka dan tanggap terhadap kebutuhan dan keadaan orang lain, memberi yang terbaik tanpa pamrih, berbagi pengetahuan dan informasi dalam rangka memperkaya wawasan dan mentalitas (abundant mentality).
Berdasarkan pengertian warga negara global sebagaimana diketengahkan Korten di atas, kiranya dapat ditegaskan bahwa warga negara global adalah warga negara dimana sikap, komitmen, dan tanggung jawabnya mampu melintasi batas-batas budaya setempat baik lokal maupun nasional kepada budaya masyarakat global. Singkatnya, warga negara global merupakan waga negara lintas negara, warga negara lintas kebudayaan antarnegara, atau warga negara lintas kepentingan secara lebih luas diluar kepentingan individu dan kepentingan institusional bahkan kepentingan nasional.
Mengapa warga negara global tersebut ada? Hal ini tidak lepas dari kenyataan adanya ketergantungan global (global interdependent) antarnegara-bangsa dalam menjalin hubungan dengan berbagai bangsa-bangsa lain di penjuru dunia ini. Korten memandang bahwa saling ketergantungan akan menciptakan suatu situasi dimana negara-negara dan penduduk mempunyai kepentingan yang sah dalam urusan masing-masing dan mempunyai hak untuk ikut mempengaruhi urusan-urusan yang melampaui apa yang bisa direstui oleh konsep kedaulatan yang lebih tradisional (Korten, 1993:263). Berdasarkan pendapat tersebut, warga negara global tidak bisa dilepaskan dengan ketergantungan global yang di dalamnya negara-bangsa (nation-state) terlibat dalam berbagai kepentingan mereka masing-masing. Warga negara global menurut Korten, berperan sangat penting untuk merumuskan menerapkan agenda untuk transformasi sosial. Di sinilah peranan jiwa kewarganegaraan global (mind of global citizen) dalam mempertautkan dan mempersatukan rakyat di dunia ini untuk bersama-sama melakukan transformasi sosial.
Dari uraian warga negara global sebagaimana dikemukakan Korten, kiranya dapat dipahami bahwa gagasan warga negara global tersebut berkait erat dengan adanya ketergantungan yang kuat antarnegara di dunia ini, dan karenanya diperlukan keterlibatan warga negara dunia untuk menjalin kerjasama dalam berbagai bidang kehidupan, tanpa memandang perbedaan atau diskriminasi apa pun dari masing-masing bangsa tersebut.
Agar warga negara global yang terlibat dalam ketergantungan global tersebut dapat memainkan perannya dengan baik, maka tentu saja diperlukan sejumlah kemampuan atau kompetensi yang mendukung ke arah sikap, tindakan, dan perbuatan yang merefleksikan ciri-ciri warga negara global sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Dalam konteks inilah pendidikan global (global education) sangat berperan untuk membekali warga negara dengan kompetensi atau kemampuan yang relavan dengan kebutuhan dan tuntutan kehidupan global tersebut.
Untuk memahami secara komprehensif tentang arti/makna pendidikan global serta kontribusinya terhadap penyiapan kemampuan warga negara global, maka secara sistematis akan dijelaskan berikut ini tentang makna pendidikan global (global education).
Jan L. Tucker sebagaimana dikutip Nursid Sumaatmadja (1995:23) pendidikan global adalah pendidikan yang diarahkan pada pengembangan wawasan global yang mempersiapkan anak didik generasi muda menjadi manusiawi, rasional, sebagai warga negara yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan dunia yang semakin menunjukkan saling ketergantungan. (Global Education, commonly refered to as education for a global perspective, …… is to prepare young people to be humane, rational, participating citizens in the world that is becoming increasing interdependent).
Sementara itu, dalam pandangan Barbara Benham Tye dan Kenneth A. Tye (1992) pendidikan global merupakan :

Global education involves (1) the study of problems and issues which cut across national boundaries, and the interconnectedness of cultural, environmental, economic, political, and technological systems, and (2) the cultivation of cross-cultural understanding, which includes development of the skill of “perspective-taking”-that is, being able to see life someone else’s point of view. Global perspective are important at every grade level, in every curricular subject area, and for all children and adults.

Definisi pendidikan global sebagaimana diketengahkan di atas, menekankan bahwa pendidikan global mencakup kajian tentang masalah-masalah dan isu-isu yang melintasi batas-batas nasional, saling keterhubungan budaya, lingkungan, ekonomi, politik, dan system teknologi. Dan pemahaman lintas-budaya yang di dalamnya termasuk pengembangan keterampilan “menentukan perspektif atau pandangan” sebagai sebuah sudut pandang seseorang. Perspektif global itu sangat penting untuk semua tingkatan usia, anak-anak maupun orang dewasa.
Sementara itu, Jiro Nagai, sebagaimana dikutip Nursid Sumaatmadja (1995:24) mengatakan, dalam kehidupan yang makin terbuka dewasa ini di abad XXI, kesadaran internasional, pemikiran mendalam tentang dunia termasuk pandangan dan wawasan global, telah menjadi bagian kehidupan tiap bangsa. Oleh karena itu, pendidikan internasional dan atau pendidikan global harus menjadi bagian pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Untuk memasuki ambang pintu abad XXI, IPS sudah tidak dapat mengabaikan pendidikan internasional atau pendidikan global tersebut. (Today, international awareness, world mindedness, and global nespoints have come necessary for the livehood of every nation. Therefore, international education must be given increased emphasis in sosial studies education. It may be said that social studies education for the twenty-first century should be international/global education).
Selanjutnya Carlos Diaz, Massialas, dan Xanthopoulus (1999:209) memaknai pendidikan global sebagai pendidikan yang bertujuan untuk membantu siswa memahami konsep-konsep global dan isu-isu dan mengarahkan pula kepada tindakan sebagai warga negara. (global education is a pedagogy that aims atu student learning of global concepts and issues and leads to citizen action). Pengertian di atas lebih menekankan tujuan pendidikan global yakni untuk membelajarkan siswa tentang masalah-masalah global, isu-isu global, konsep-konsep global.
Berdasarkan pengertian pendidikan global menurut para ahli yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan global pada dasarnya merupakan pendidikan untuk membantu siswa memahami konsep dan isu-isu global, antara lain meliputi masalah politik, ekonomi, budaya, lingkungan, hak asasi manusia, dan sebagainya. Dengan demikian, siswa akan mampu menentukan sudut pandangnya (point of view) sebagai sebuah perspektif global (global perspective) dalam kedudukannya sebagai warga negara yang cerdas dalam menanggapi serta mengkritisi masalah-masalah global tersebut.
Nu’man Somantri (2001:190) menegaskan pentingnya pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang berorientasi global, dengan menampilkan pendidikan global (global education). Lebih lanjut beliau mengatakan, “…dinamika masyarakat dan globalisasi sangat dirasakan terutama bahan ajar yang selama ini terlalu menitikberatkan kepada teori-teori dan non-functional knowledge. Isi bahan ajar seperti itu, praktis tidak dapat memperkaya atau menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan derasnya globalisasi dalam teori maupun gejala dan masalah-masalah kemasyarakatan yang berhubungan satu sama lain.”
Dengan demikian, kami memandang betapa pentingnya pendidikan global tersebut untuk menyiapkan warga negara global, yakni warga negara yang mengetahui, memahami, serta menanggapi secara kritis berbagai masalah atau isu global yang mengemuka dalam kehidupan saat ini. Perlu diingat, bahwa akibat globalisasi yang terjadi dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan antarbangsa, dengan sendirinya menyebabkan timbulnya ketergantungan global antarbangsa yang antara lain direfleksikan dalam bentuk kerjasama antarbangsa. Di sinilah diperlukan warga negara yang memiliki wawasan global sebagai syarat pokok untuk melibatkan diri dalam berbagai bentuk partisipasi warga negara dalam kaitannya dengan meningkatnya hubungan atau interaksi antarbangsa di seluruh belahan dunia ini.
Mengingat argumentasi itu, tidaklah berlebihan kiranya muncul berbagai gagasan atau pemikiran untuk memperkuat ilmu pengetahuan sosial termasuk di dalamnya adalah pendidikan kewarganegaraan (civic education) untuk lebih berorientasi kepada pendidikan berwawasan global, dalam rangka mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara dunia (global citizen) yang memiliki komitmen dan tanggungjawab dalam kehidupan sebagai anggota masyarakat bangsa, dan anggota masyarakat bangsa-bangsa di dunia ini. Dalam kaitan ini, patut disimak pendapat yang dikemukakan Robert Hanvey’s (Diaz, Massialas, Xanthopoulus, 1992) bahwa dimensi-dimensi dalam pendidikan global mencakup antara lain :
• Kesadaran perspektif, yakni kesadaran dan kemampuan mengapresiasi pikiran-pikiran orang lain di dunia ini, dan kesediaan menerima perbedaan pandangan yang terjadi.
• Kesadaran bangsa di planet jagat raya, yakni memahami secara mendalam tentang isu-isu global, peristiwa-peristiwa global, serta berbagai kondisi dalam kehidupan global.
• Kesadaran lintas-budaya : pemahaman umum tentang makna karakteristik budaya-budaya di dunia ini, memahami perbedaan serta persamaan antarkebudayaan tersebut.
• Pengetahun tentang dinamika global : kesadaran global akan adanya sistem internasional yang kompleks yang dilakukan baik oleh negara maupun bukan negara yang dilakukan saling ketergantungan dan saling membutuhkan antarbangsa.
• Kesadaran terhadap pilihan manusia : meninjau tentang strategi untuk melakukan tindakan atas berbagai isu lokal, nasional, dan internasional.

Pendidikan kewarganegaraan (civic education) sebagai bidang kajian atau ilmu yang menekankan fokus studinya kepada warga negara dan perilakunya, sangat relevan dengan upaya-upaya untuk mempersiapkan warga negara global tersebut.