Sabtu, 15 Oktober 2011

DEMOKRASI DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Berbagai masalah memang dapat ditemukan di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi. Sekian banyak permasalahan demokrasi memang mengundang pendapat dari berbagai ahli, Cornelis Lay (seorang pakar politik UGM) menyebutkan bahwa permasalahan demokrasi yang ada di Indonesia saat ini jangan-jangan permasalaha demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini hanya karena kita menamai gerakannya sebagai gerakan demokrasi. Karena menamainya demokrasilah akhirnya terjadi kebingunangan bentuk dari demokrasi itu sendiri.
Akhir milenium kedua ditandai dengan perubahan besar di Indonesia. Rejim Orde Baru
yang telah berkuasa selama 32 tahun yang dipimpin oleh Soeharto akhirnya tumbang.
Demokrasi Pancasila versi Orde Baru mulai digantikan dengan demokrasi dalam arti
sesungguhnya. Hanya saja tidak mudah mewujudkan hal ini, karena setelah Soeharto
tumbang tidak ada kekuatan yang mampu mengarahkan perubahan secara damai, bertahap dan progresif. Yang ada justru muncul berbagai konflik serta terjadi perubahan
genetika sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tak lepas dari pengaruh krisis moneter yang
menjalar kepada krisis keuangan sehingga pengaruh depresiasi rupiah berpengaruh
signifikan terhadap kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Inflasi yang dipicu kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) sangat berpengaruh kepada kualitas kehidupan
masyarakat. Rakyat Indonesia sebagian besar masuk ke dalam sebuah era demokrasi sesungguhnya dimana pada saat yang sama tingkat kehidupan ekonomi mereka justru
tidak lebih baik dibandingkan ketika masa Orde Baru. Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi.
Pertama adalah demokrasi liberal dimasa kemerdekaan. Kedua adalah demokrasi
terpimpin, ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan
demokrasi terpimpin. Ketiga adalah demokrasi Pancasila yang dimulai sejak
pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalam
masa transisi.
Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa demokrasi tersebut pada dasarnya
bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi liberal ternyata pada saat itu
belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian,
berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam
pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah
dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Sementara demokrasi terpimpin
yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lamanya konstituante
mengeluarkan undang-undang dasar baru) telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut.
Di satu sisi, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum
Internasional yang diperlihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Soekarno serta
munculnya Indonesia sebagai salah satu kekuatan militer yang patut diperhitungkan di
Asia. Namun pada sisi lain segi ekonomi rakyat kurang terperhatikan akibat berbagai
kebijakan politik pada masa itu.
Lain pula dengan masa demokrasi Pancasila pada kepemimpinan Soeharto. Stabilitas
keamanan sangat dijaga sehingga terjadi pemasungan kebebasan berbicara. Namun
tingkat kehidupan ekonomi rakyat relatif baik. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem nilai
tukar dan alokasi subsidi BBM sehingga harga-harga barang dan jasa berada pada titik
keterjangkauan masyarakat secara umum. Namun demikian penyakit korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) semakin parah menjangkiti pemerintahan. Lembaga pemerintahan
yang ada di legislatif, eksekutif dan yudikatif terkena virus KKN ini. Selain itu,
pemasungan kebebasan berbicara ternyata menjadi bola salju yang semakin membesar
yang siap meledak. Bom waktu ini telah terakumulasi sekian lama dan ledakannya terjadi
pada bulan Mei 1998.
Selepas kejatuhan Soeharto, selain terjadinya kenaikan harga barang dan jasa beberapa
kali dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, instabilitas keamanan dan politik serta KKN
bersamaan terjadi sehingga yang paling terkena dampaknya adalah rakyat kecil yang
jumlahnya mayoritas dan menyebabkan posisi tawar Indonesia sangat lemah di mata
internasional akibat tidak adanya kepemimpinan yang kuat.
Namun demikian, demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia memperlihatkan
beberapa kemajuan dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pemilihan umum dengan
diikuti banyak partai adalah sebuah kemajuan yang harus dicatat. Disamping itu
pemilihan presiden secara langsung yang juga diikuti oleh pemilihan kepala daerah
secara langsung adalah kemajuan lain dalam tahapan demokratisasi di Indonesia. Diluar
hal tersebut, kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi di
masyarakat juga semakin meningkat. Para kaum tertindas mampu menyuarakan keluhan
mereka di depan publik sehingga masalah-masalah yang selama ini terpendam dapat
diketahui oleh publik. Pemerintah pun sangat mudah dikritik bila terlihat melakukan
penyimpangan dan bisa diajukan ke pengadilan bila terbukti melakukan kesalahan dalam
mengambil suatu kebijakan publik.
Jika diasumsikan bahwa pemilihan langsung akan menghasilkan pemimpin yang mampu
membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik, maka seharusnya dalam
beberapa tahun ke depan Indonesia akan mengalami peningkatan taraf kesejahteraan
masyarakat. Namun sayangnya hal ini belum terjadi secara signifikan. Hal ini sebagai
akibat masih terlalu kuatnya kelompok yang pro-KKN maupun anti perbaikan.
Demokrasi di Indonesia masih berada pada masa transisi dimana berbagai prestasi sudah
muncul dan diiringi ”prestasi” yang lain. Sebagai contoh, munculnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dirasakan mampu menimbulkan efek jera para koruptor
dengan dipenjarakannya beberapa koruptor. Namun di sisi lain, para pengemplang dana
bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) mendapat pengampunan yang tidak sepadan
dengan ”dosa-dosa” mereka terhadap perekonomian.
Namun demikian, masih ada sisi positif yang bisa dilihat seperti lahirnya undang-undang
sistem pendidikan nasional yang mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen.
Demikian pula rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi yang masih
dibahas di parlemen. Rancangan undang-undang ini telah mendapat masukan dan
dukungan dari ratusan organisasi Islam yang ada di tanah air. Hal ini juga
memperlihatkan adanya partisipasi umat Islam yang meningkat dalam perkembangan
demokrasi di Indonesia. Sementara undang-undang sistem pendidikan nasional yang telah
disahkan parlemen juga pada masa pembahasannya mendapat dukungan yang kuat dari
berbagai organisasi Islam.
Sementara itu, ekonomi di era demokrasi ternyata mendapat pengaruh besar dari
kapitalisme internasional. Hal ini menyebabkan dilema. Bahkan di tingkat pemerintah,
ada kesan mereka tunduk dibawah tekanan kapitalis internasional yang tidak
diperlihatkan secara kasat mata kepada publik namun bisa dirasakan.
Semenjak reformasi, yang dilakukan pada tahun 1998, praktis pelaksanaan demokrasi di Indonesia mengalami banyak tantangan dan hambatan. Kecenderungan yang terjadi adalah makin memudarnya kerpercayaan masyarakat terhadap gerakan demokrasi yang saat ini dilaksanakan. Bahkan kecenderungan masyarakat kelas bawah merindukan kembalinya situasi dan kondisi seperti pada orde baru makin besar. Tidak dapat dipungkiri memang demokratisasi yang dilaksanakan di Indonesia saat ini hanya dinikmati oleh elit-elit tertentu yang menguasai sumber-sumber daya di masyarakat, sehingga hal inilah yang kemudian membuat masyarakat menjadi tidak percaya kepada demokrasi yang sedang dilaksanakan.
1.2. Rumusan Masalah
Berbagai masalah memang dapat ditemukan di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi. Sekian banyak permasalahan demokrasi memang mengundang pendapat dari berbagai ahli, Cornelis Lay (seorang pakar politik UGM) menyebutkan bahwa permasalahan demokrasi yang ada di Indonesia saat ini jangan-jangan permasalaha demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini hanya karena kita menamai gerakannya sebagai gerakan demokrasi. Karena menamainya demokrasilah akhirnya terjadi kebingunangan bentuk dari demokrasi itu sendiri.
Bahkan dari berbagai teori yang ada pengertian demokrasi selalu menjadi perdebatan. Dalam argumentasinya mengambil contoh pada negara Amerika, semenjak berdirinya negara Amerika tidak pernah menyebut diri sebagai negara demokrasi, disebutkan oleh Lay bahwa Amerika hanya menyebut negaranya sebagai negara Republik jadi bukan demokrasi.
Secara umum permasalahan demokratisasi di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Defisit Demokrasi
Berdasarkan hasil riset Demos (2005) membuktikan bahwa kebebasan sipil dan politik- termasuk kebebasan membentuk partai; kebebasan untuk berpartisipasi dalam asosiasi sosial dan politik indepensen; kebebasan beragama dan berkeyakinan; serta kebebasan media- sudah dianggap lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Namun beberapa hal yang perlu menjadi perhatian adalah :
a. Demokratisasi bukan sekedar liberalisasi politik
b. Masih muncul kesenjangan antara aspek yang esensial/ substantif (konstistusionalisme; rule of law, supremasi sipil; peradilan yang bebasa; responsivitas negara; democratic governance; hak-hak warga negara) dengan aspek instrumental.
c. Kinerja instrumen memburuk.
d. Kebebasan membentuk partai bukanlah mengumbar politik yang pada akhirnya menghilangkan perwakilan yang berkualitas.

2. Representasi Bermasalah
• Problem keterwakilan politikà kesenjangan antara agenda masyarakat dengan agenda partai politik dan parlemen
• Belum berjalannya reformasi internal dan kebanyakan partai lebih berpatokan padadesetralisasi kepertaian elit-elit yang ada di pusat. Meminjam istilah dari Ketut Putra Erawan, partai politik di Indonesia masih belum mampu melakukan Institusionalisasi Kepartaian baik di tingkat akar rumput, parlemen, dan kelembagaan.

3. Demokrasi Oligarkis
- Hasil riset demos (2005) menunjukkan kehadiran elite oligarkis yang telah menyesuaikan diri dengan demokrasi.
- Strateginya:
a. Beradaptasi (75 % user & abuser; 14 %promoter)
b. Memonopoli (jalur legislatif 61 %);
c. Memanipulasi proses demokrasi (mendayagunakan sumberdaya publik 10 %; membeli dukungan suara (13 %); penggunaan cara otoritarian (15 %); mengerahkan masa (8 %) dan memanipulasi sentimen etnik/ agama (12 %) .
- adapun elite oligarkis tersebut adalah : Aktor-aktor eksekutif, agen-agen represi;militer atau preman, politisi; anggota parlemen; aktor-aktor bisnis, aktor-aktor organisasi sosial, dan tokoh-tokoh informal.
- Adapun pola interaksi aliansi antar elit yang terbentuk adalah sebagai berikut : Intra elite politikà aktor politik lintas blok (38 %), Aliansi elite politik dengan elite bisnis (26 %), dan Aliansi elite politik dengan militer (4 %).
- Demokrasi Oligarkis di Indonesia dapat berjalan pada umumnya terbentuk karena : jaringan sosial yang sangat luas yang dimiliki oleh para elit, penguasaan sumber-sumber ekonomi pada masyarakat, penguasaan atas kekuatan kekerasan yang dapat melakukan represi terhadap masyarakat, dan penguasaan terhadap kekuasaan legal formal di masyarakat.

4. Demokrat Mengambang
Bagaimana dengan aktor pro-demokrasi ?
- Tidak engage dalam pemerintahan dan representasi politik
- Kurang mempunyai basis dukungan kerakyatan yang kuatà tidak punya konstituen
Terfragmentasi dalam ideologi dan strategi (fokus ke penguatan civil society tanpa politisasi atau melakukan rekoneksi antara penguatan masyarakat dengan aksi politik (engage).
Hasil penelitian dari Demos (2007) juga menyebutkan bahwa para pelaku pro demokrasi kebanyakan bertindak secara populis, salah satu contohnya masuk ke dalam lingkaran elit/partai yang sudah populer, sehingga gerakan demokrasi tetap saja tidak berjalan dengan baik.












BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah suatu pemikiran manusia yang mempunyai kebebasan berbicara, megeluarkan pendapat. Negara Indonesia menunjukan sebuah Negara yang sukses menuju demokrasi sebagai bukti yang nyata, dalam peemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Selain itu bebas menyelenggarakan kebebasan pers. Semua warga negar bebas berbicara, mengeluarkan pendapat, mengkritik bahkan mengawasi jalannya pemerintahan. Demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat bahkan dalam memilih salah satu keyakinan pun dibebaskan.
Untuk membangun suatu system demokrasi disuatu Negara bukanlah hal yang mudah karena tidak menutup kemungkinan pembangunan system demokrasi di suatu Negara akan mengalami kegagalan. Tetapi yang harus kita banggakan dmokrasi dinegara Indonesia sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat contahnya dari segi kebebasan, berkeyakinan, berpendapat atau pun berkumpul mereka bebas bergaul tanpa ada batasan-batasan yang membatasi mereka. Tapi bukan berarti demokrasi di Indonesia saat ini sudah berjalan sempurna masih banyak kritik-kritik yang muncul terhadap pemerintah yang belum sepenuhnya bisa menjamin kebebasan warga negaranya. Dalam hal berkeyakian juga pemerintah belum sepenuhnya. Berdasarkan survei tingkat kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi smakin besar bahkan demokrasi adalah system yang terbaik meskipun system demokrasi itu tidak sempurna.
Dengan begitu banyaknya persoalan yang telah melanda bangsa Indonesia ini. Keberhasilan Indonesia dalam menetapkan demokrasi tentu harus dibanggaan karena banyak Negara yang sama dengan Negara Indonesia tetapi Negara tersebut tidak bisa menegakan system demokrasi dengan baik dalam artian gagal. Akibat demokrasi jika dilihat diberbagai persoalan dilapangan adalah meningkatnya angka pengangguran, bertambahnya kemacetan dijalan, semakin parahnya banjir masalah korupsi, penyelewengan dan itu adalah contoh penomena dalam suatu Negara system demokrasi, demokrasi adalah system yang buruk diantara alternative-alternatif yang lebih buruk tetapi demokrasi memberikan harapan untuk kebebasan, keadilan dan kesejahtraan oleh karena itu banyak Negara-negara yang berlomba-lomba menerapkan system demokrasi ini.
Dalam kehidupan berpolitikdi setiap Negara yang kerap selalu menikmati kebebasan berpolitik namun tidak semua kebebasan berpolitik berjalan sesuai dengan yang di inginkan, karena pada hakikatnta semua system politik mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Demokrasi adalah sebuah proses yang terus-menerus merupakan gagasan dinamis yang terkait erat dengan perubahan. Jika suatu Negara mampu menerapkan kebebasan, keadilan, dan kesejahtraan dengan sempurna. Maka Negara tersebut adalah Negara yang sukses menjalankan system demokrasi sebaliknya jika suatu Negara itu gagal menggunakan system pemerintahan demokrasi maka Negara itu tidak layak disebut sebagai Negara demokrasi. Oleh karena itu kita sebagai warga Negara Indonesia yang meganut system pemerintahan yang demokrasi kita sudah sepatutnya untuk terus menjaga dan memperbaiki, melengkapi kualitas-kualitas demokrasi yang sudah ada. Demi terbentuknya suatu system demokrasi yang utuh di dalam wadah pemeritahan bangsa Indonesia. Demi tercapaiya suatu kesejahtraan, tujuan dari cita-cita demokrasi yang sesungguhnya akan mengangkat Indonesia ke dalam suatu perubahan.
2.2. Keadaan Demokrasi di Indonesia
Demokrasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum memberikan dampak ekonomi yang positif buat mereka. Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam masa transisi. Demokrasi masih terkesan isu kaum elit, sementara ekonomi adalah masalah riil kaum ekonomi bawah yang belum diakomodasi dalam proses demokratisasi. Ini adalah salah satu tantangan terberat yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Demokrasi dalam arti sebenarnya terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan demikian ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik. Setiap manusia memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, berserikat dan bermasyarakat. Dengan demikian, demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main. Aturan main tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus yang terdapat dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah.
Di masa transisi, sebagian besar orang hanya tahu mereka bebas berbicara, beraspirasi, berdemonstrasi. Namun aspirasi yang tidak sampai akan menimbulkan kerusakan. Tidak sedikit fakta yang memperlihatkan adanya pengrusakan ketika terjadinya demonstrasi menyampaikan pendapat. Untuk itu orang memerlukan pemahaman yang utuh agar mereka bisa menikmati demokrasi.
Demokrasi di masa transisi tanpa adanya sumber daya manusia yang kuat akan mengakibatkan masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah tantangan yang cukup berat juga dalam demokrasi yang tengah menapak. Pengaruh asing tersebut jelas akan menguntungkan mereka dan belum tentu menguntungkan Indonesia. Dominannya pengaruh asing justru mematikan demokrasi itu sendiri karena tidak diperbolehkannya perbedaan pendapat yang seharusnya menguntungkan Indonesia. Standar ganda pihak asing juga akan menjadi penyebab mandulnya demokrasi di Indonesia.
Harapan dari adanya demokrasi yang mulai tumbuh adalah ia memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat dan juga bangsa. Misalnya saja, demokrasi bisa memaksimalkan pengumpulan zakat oleh negara dan distribusinya mampu mengurangi kemiskinan. Disamping itu demokrasi diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang lebih memperhatikan kepentingan rakyat banyak seperti masalah kesehatan dan pendidikan. Tidak hanya itu, demokrasi diharapkan mampu menjadikan negara kuat. Demokrasi dinegara yang tidak kuat akan mengalami masa transisi yang panjang. Dan ini sangat merugikan bangsa dan negara. Demokrasi di negara kuat (seperti Amerika) akan berdampak positif bagi rakyat. Sedangkan demokrasi di negara berkembang seperti Indonesia tanpa menghasilkan negara yang kuat justru tidak akan mampu mensejahterakan rakyatnya. Negara yang kuat tidak identik dengan otoritarianisme maupun militerisme.
Harapan rakyat banyak tentunya adalah pada masalah kehidupan ekonomi mereka serta bidang kehidupan lainnya. Demokrasi membuka celah berkuasanya para pemimpin yang peduli dengan rakyat dan sebaliknya bisa melahirkan pemimpin yang buruk. Harapan rakyat akan adanya pemimpin yang peduli di masa demokrasi ini adalah harapan dari implementasi demokrasi itu sendiri.
Demokrasi di Indonesia memberikan harapan akan tumbuhnya masyarakat baru yang memiliki kebebasan berpendapat, berserikat, berumpul, berpolitik dimana masyarakat mengharap adanya iklim ekonomi yang kondusif. Untuk menghadapi tantangan dan mengelola harapan ini agar menjadi kenyataan dibutuhkan kerjasama antar kelompok dan partai politik agar demokrasi bisa berkembang ke arah yang lebih baik.
Cornelis Lay (seorang pakar politik UGM) mengemukakan secara umum permasalahan demokratisasi di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Defisit Demokrasi
2. Representasi Bermasalah
3. Demokrasi Oligarkis
4. Demokrat Mengambang
Di bab ini akan kita bahas satu-persatu permasalahan demokrasi yang dikemukakan oleh Cornelis Lay yang disebutkan di atas.
1. Masalah Defisit Demokrasi
Untuk mengantisipasi potensi negatif secara berkepanjangan di masa depan, perlu dipikirkan dalam dunia pendidikan formal dan partai politik serta kelompok pro demokrasi melakukan pendidikan multikultural.

Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki kepekaan dalam menangkap dan menghadapi gejala dan masalah sosial politik yang berakar pada perbedaan cara pandang dan poros politik yang berbeda.

Dalam Undang-undang Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 secara prinsip telah termaktub di Pasal (4), di mana dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), nilai-nilai keagamaan dan kultural.

Pendidikan multikultural dipandang efektif dan relevan diterapkan dalam upaya membangun sistem demokrasi substansial, terutama di era desentralisasi dan otonomi daerah serta masyarakat heterogen.

Karena pendidikan multikultural mendorong sikap hidup masyarakat atau warga negara untuk kohesif, solider, dan intimitas pada perbedaan-perbedaan cara pandang sikap berdasarkan ras, etnik, agama, budaya dan kebutuhan.

Pendidikan Multikultural memang sebuah konsep yang bertujuan untuk membangun pranata sosial yang inklusif, plural, interaktif dan toleran pada persamaan dan perbedaan, agar masyarakat memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memadai dalam realitas kehidupan kemasyarakatan yang plural.

Prinsip-prinsip utama pendidikan multikultural antara lain menekankan pada Pertama; mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya. Kedua; Terbuka dalam berpikir. Ketiga; apresiasi dan interdependensi. Keempat; Resolusi konflik dan rekonsiliasi nonviolence (tanpa kekerasan dan anarkis).

Belajar dari "pesta demokrasi lokal" atau pemilukada pada 10 kabupaten Juni lalu dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi dan otoda menjadi spirit baru terbangunnya kesadaran komunalitas berdasarkan emosi komunitas ras, etnis, agama dan budaya yang cenderung "semu", superior dan eksklusif. Selanjutnya rentan menjadi pemicu konflik (disadari atau tidak disadari)

Dan salah satu upaya strategis yang efektif dalam mendorong penguatan proses demokrasi lokal berkualitas dan bermartabat pada kehidupan masyarakat adalah implementasi pendidikan multikultural yang menekankan pada penyadaran sikap dan prilaku masyarakat yang simpatik, respek, apresiatif, dan empati.
2. Representasi Bermasalah
Dalam demokrasi representative, populasi memilih satu orang kandidat yang mereka percayai untuk dapat mewakili aspirasi mereka duduk di dalam parlemen dimana kebijakan public di buat, pemilih menyerahkan semua hak demokratiknya kepada kandidat tersebut. Permasalahan yang muncul kemudian adalah si kandidat memiliki jarak yang sangat jauh dari massa yang memilihnya denan berbagai macam alasan, pemahaman bahwa massa memiliki hak partisipasi demokratik dalam suatu Negara dan ketika ia melakukan pemilihan haknya diberikan kepada si kandidat pun agaknya asing di tingkatan massa. Kebanyakan massa hanya menagannggap pemilu adalah sebuah ritual kenegaraan dan meraka adalah penonton yang inferior di dalamnya. Banyaknya jumlah populasi yang mengharuskan kandidat melakukan komunikasi terhadap pemilih pun telah mendegradasi kualitas komunikasi politik dengan menggantikannya dengan symbol kampanye dan tentunya hanya orang-orang tertentu sajalah yang mampu membiayai kampanye tersebut. Hal ini telah menjauhkan kandidat dari pemilih sekaligus menutup kemungkinan kelas bawah untuk dapat menjadi kandidat dalam proses electoral. Proses ini kemudian akan memunculkan oligarki dalam kekuasaan. Meskipun begitu, kapitalisme membutuhkan oligarki untuk memastikan akumulasi modal dapat terus terkonsentrasi dan aman dalam bentuk kepemilikan privat. Dalam demokrasi representative, populasi memilih satu orang kandidat yang mereka percayai untuk dapat mewakili aspirasi mereka duduk di dalam parlemen dimana kebijakan public di buat, pemilih menyerahkan semua hak demokratiknya kepada kandidat tersebut. Permasalahan yang muncul kemudian adalah si kandidat memiliki jarak yang sangat jauh dari massa yang memilihnya denan berbagai macam alasan, pemahaman bahwa massa memiliki hak partisipasi demokratik dalam suatu Negara dan ketika ia melakukan pemilihan haknya diberikan kepada si kandidat pun agaknya asing di tingkatan massa. Kebanyakan massa hanya menagannggap pemilu adalah sebuah ritual kenegaraan dan meraka adalah penonton yang inferior di dalamnya. Banyaknya jumlah populasi yang mengharuskan kandidat melakukan komunikasi terhadap pemilih pun telah mendegradasi kualitas komunikasi politik dengan menggantikannya dengan symbol kampanye dan tentunya hanya orang-orang tertentu sajalah yang mampu membiayai kampanye tersebut. Hal ini telah menjauhkan kandidat dari pemilih sekaligus menutup kemungkinan kelas bawah untuk dapat menjadi kandidat dalam proses electoral. Proses ini kemudian akan memunculkan oligarki dalam kekuasaan. Meskipun begitu, kapitalisme membutuhkan oligarki untuk memastikan akumulasi modal dapat terus terkonsentrasi dan aman dalam bentuk kepemilikan privat.
3. Demokrasi Oligarki
Oligarki dengan sendirinya menciptakan krisis legitimasi di tataran rakyat ketidakpercayaan terhadap proses maupun konsistensi kandidat terpilih untuk membawa aspirasi rakyat mulai muncul, singkatnya kita dapat mengambil contoh dengan maraknya jumlah golput pada setiap pemilihan umum di berbagai Negara.
Demokrasi parlementer dan Oligarki seakan-akan telah menjadi dua hal yang sebenarnya satu. Tidak ada perbedaan mencolok diantara keduanya bahkan bisa dikatakan sama saja, begitupun juga dengan demokrasi. Jika begini masih layakkah demokrasi dipertahankan? Jika masih layak, adakah alernatif bagi demokrasi?
Demokrasi yang sedang di beberapa Negara di amerika latin ini di sebut sebagai Demokrasi Partisipatoris. Demokrasi model ini menjadikan demokrasi yang sebelumnya hanya menjadi ritual kenegaraan menjadi sistem yang nyata di tengah-tengah massa. sistem demokrasi ini memungkinkan massa memberikan aspirasinya secara langsung, merubah elitism parlemen menjadi proses partisipatoris dikalangan base massa terendah, memungkinkan massa mengorganisir dirinya sendiri dan merencanakan programnya sendiri untuk mereka. Dalam proses ini juga consensus rakyat merupakan hal yang paling utama sehingga referendum dipastikan dapat dilakukan kapan saja (tentunya dengan syarat). sistem demokrasi partisipatoris ini juga mensyaratkan terorganisirnya rakyat di setiap level dan pendidikan politik dilakukan secara simultan di dalamnya, system ini kemudian menjadikan demokrasi sebagai sistem social yang muncul secara integral dalam masyarakat hingga kemudian rakyat dapat menyadari bahwa kekuasaan ada di tangan mereka.
Proses demokrasi partisipatoris yang dapat dipantau lebih jelas adalah proses demokrasi di Venezuela. Proses ini mirip dengan proses yang terjadi di kuba namun lebih terbuka. Demokrasi partisipatoris di Venezuela menggunakan dewan komunal sebagai tenaga pokoknya dalam agenda revolusi bolvarian mereka. Dewan-dewan komunal ini dibentuk di berbagai level massa untuk memutuskan kebutuhan mendasarnya melalui program-program kerakyatan yang mereka usulkan ke pemerintah, konstitusi Negara ini dirubah menjadi konstitusi yang lebih kerakyatan.
Pertanyaan bahwa apakah terdapat kemungkinan diterapkannya demokrasi partisipatoris di Indonesia, jawabannya adalah ada kemungkinannya. Meskipun tidak menemukan momentum seradikal kuba, dalam beberapa tahap keadaan di Indonesia hamper serupa dengan Venezuela dan Negara dunia ketiga lainnya. Pembentukan demokrasi partisipatoris di Venezuela pun tidak dilakukan secara parsial dari rangkaian gerak ekonomi politik Venezuela, begitupun juga kemungkinan yang ada di Indonesia. Demokrasi partisipatoris sebagai ide untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh kaum prodemokrasi dan kaum progresif lainnya di Indonesia dengan meluaskan pembangunan organisasi-organisasi rakyat.
Demokrasi sebagai sebuah sistem social harus dibentuk dari sistem social itu sendiri melalui pengorganisiran di tingkatan rakyat dan mengenalkan proses demokrasi ini dalam bentuk tindakan keseharian dalam pengorganisiran. Membangun kesadaran rakyat melalui proses demokratis dan menjadikan demokrasi sebagai nilai social di tingkatan rakyat.
4. Demokrat Mengambang
Pergantian dari rezim otoriter ke demokratis, sering meninggalkan sejumlah masalah. Sederet masalah mulai dari membengkaknya utang luar negeri, meningkatnya jumlah kemiskinan, inflasi yang tak terbendung, menguatnya gerakan sparatisme, sampai rumitnya penuntasan pelanggaran HAM berat maupun ringan, menjadi pekerjaan pertama yang harus secepatnya diatasi pemerintahan baru.
Upaya penyelesaian sejumlah persoalan itu akan menentukan, apakah rezim demokratis mampu mengonsolidasikan dirinya dengan kuat atau gagal. Dalam banyak kasus, pemerintahan baru selalu dipaksa menyelesaikan persoalan itu agar dapat memelihara dan memperkuat legitimasinya. Jika gagal, taruhannya adalah degradasi legitimasi yang akan berdampak bagi terganggunya konsolidasi demokrasi.
Pertanyaannya, apakah negara demokrasi baru, terutama di dunia ketiga, mampu mengatasi dan menuntaskan sejumlah persoalan itu? Dalam kenyataannya, rezim-rezim itu memang berhasil mengatasi masalah tertentu. Namun, pada sebagian besar kasus, tampaknya ia tidak mampu menangani masalah-masalah ini secara efektif dan cepat dibanding pemerintahan sebelumnya yang otoriter. Untuk sekian waktu lamanya, persoalan-persoalan itu tetap mengambang dan tidak ada alternatif penyelesaiannya.
Dengan situasi seperti itu, apakah demokrasi menjadi terancam? Bagi sebagian negara boleh jadi demikian. Di Filipina, Peru, dan Guatemala misalnya, proses demokrasi mendapat tekanan berat. Tekanan itu adakalanya muncul dari kekuatan baru yaitu oposisi, namun yang paling berat justru dari elemen-elemen lama yang telah terkonsolidasi kembali.
Masyarakat akan melirik pemerintahan masa lalu. Alasannya, meski otoriter, pemerintahan masa lalu dianggap dianggap lebih mampu dibanding pemerintahan dengan sistem demokrasi. Bahkan, masyarakat tidak terlalu peduli, dengan sistem otoriter atau demokrasi, yang penting bisa memenuhi segala kebutuhannya dan mampu menuntaskan segala persoalan.
Meski sulit dilakukan, namun, untuk menyelamatkan sistem demokrasi, maka pembedaan-pembedaan seperti ini perlu dilakukan. Kendalanya mungkin terletak pada kesulitan masyarakat untuk membedakan antara kegagalan pelaku pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya dengan sistem demokrasi yang menjadi dasar suatu pemerintahan.
Meski fenomena ini selalu menjadi problem bagi pemerintahan baru, namun, rasanya tidak ada jalan lain bagi pemerintah dan elite politik, kecuali bersama-sama secepatnya menuntaskan persoalan-persoalan di atas untuk mencegah munculnya sikap sinis dan apatis masyarakat.










BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Dari pengalaman masa lalu bangsa kita, kelihatan bahwa demokrasi belum membudaya. Kita memang telah menganut demokrsai dan bahkan telah di praktekan baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum membudanyakannya.
Membudaya berarti telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Mengatakan “Demokrasi telah menjadi budaya” berarti penghayatan nilai-nilai demokrasi telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging di antara warga negara. Dengan kata lain, demokrasi telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari kehidupanya. Seluruh kehidupanya diwarnai oleh nilai-nilai demokrasi.
Namun, itu belum terjadi. Di media massa kita sering mendengar betapa sering warga negara, bahkan pemerintah itu sendiri, melanggar nilai-nilai demokrasi. Orang-orang kurang menghargai kebabasan orang lain, kurang menghargai perbedaan, supremasi hukum kurang ditegakan, kesamaan kurang di praktekan, partisipasi warga negara atau orang perorang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan pilitik belum maksimal, musyawarah kurang dipakai sebagai cara untuk merencanakan suatu program atau mengatasi suatu masalah bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam keluarga dan masyarakat kita sendiri, nilai-nilai demokrasi itu kurang di praktekan.







3.2. Saran
Mewujudkan budaya demokrasi memang tidak mudah. Perlu ada usaha dari semua warga negara. Yang paling utama, tentu saja, adalah:
1. Adanya niat untuk memahami nilai-nilai demokrasi.
2. Mempraktekanya secara terus menerus, atau membiasakannya.
Memahami nilai-nilai demokrasi memerlukan pemberlajaran, yaitu belajar dari pengalaman negara-negara yang telah mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih baik dibandingkan kita. Dalam usaha mempraktekan budaya demokrasi, kita kadang-kadang mengalami kegagalan disana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk terus berusaha memperbaikinya dari hari kehari. Suatu hari nanti, kita berharap bahwa demokrasi telah benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JANGAN LUPA KASIH COMMENT YA.....!