Kamis, 28 Juli 2011

SOLUSI MASALAH DEFISIT DEMOKRASI


SOLUSI MASALAH DEFISIT DEMOKRASI


Konflik dan anarkis kelompok masyarakat pada beberapa kabupaten, baik sebelum pelaksanaan pemilukada 23 Juni 2010 maupun hari “H” dan pasca-pelaksanaan telah mengakibatkan kerusakan dan kerugian pada masyarakat maupun fasilitas publik. Itu terjadi antara lain di Soppeng, Luwu Utara, Toraja, dan Gowa.

Realitas ini rentan dipicu karena faktor-faktor antara lain; netralitas dan keutuhan anggota KPUD sebagai pelaksana sampai pada tingkat pelaksana baris depan dan sikap pemilih masih terjebak pada pragmatisme dalam menentukan pilihan.

Untuk mengantisipasi potensi negatif secara berkepanjangan di masa depan, perlu dipikirkan dalam dunia pendidikan formal dan partai politik serta kelompok prodemokrasi melakukan pendidikan multikultural.

Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki kepekaan dalam menangkap dan menghadapi gejala dan masalah sosial politik yang berakar pada perbedaan cara pandang dan poros politik yang berbeda.

Dalam Undang-undang Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 secara prinsip telah termaktub di Pasal (4), di mana dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), nilai-nilai keagamaan dan kultural.

Pendidikan multikultural dipandang efektif dan relevan diterapkan dalam upaya membangun sistem demokrasi substansial, terutama di era desentralisasi dan otonomi daerah serta masyarakat heterogen.

Karena pendidikan multikultural mendorong sikap hidup masyarakat atau warga negara untuk kohesif, solider, dan intimitas pada perbedaan-perbedaan cara pandang sikap berdasarkan ras, etnik, agama, budaya dan kebutuhan.

Pendidikan Multikultural memang sebuah konsep yang bertujuan untuk membangun pranata sosial yang inklusif, plural, interaktif dan toleran pada persamaan dan perbedaan, agar masyarakat memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang memadai dalam realitas kehidupan kemasyarakatan yang plural.

Prinsip-prinsip utama pendidikan multikultural antara lain menekankan pada Pertama; mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya. Kedua; Terbuka dalam berpikir. Ketiga; apresiasi dan interdependensi. Keempat; Resolusi konflik dan rekonsiliasi nonviolence (tanpa kekerasan dan anarkis).

Belajar dari "pesta demokrasi lokal" atau pemilukada pada 10 kabupaten Juni lalu dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi dan otoda menjadi spirit baru terbangunnya kesadaran komunalitas berdasarkan emosi komunitas ras, etnis, agama dan budaya yang cenderung "semu", superior dan eksklusif. Selanjutnya rentan menjadi pemicu konflik (disadari atau tidak disadari)

Dan salah satu upaya strategis yang efektif dalam mendorong penguatan proses demokrasi lokal berkualitas dan bermartabat pada kehidupan masyarakat adalah implementasi pendidikan multikultural yang menekankan pada penyadaran sikap dan prilaku masyarakat yang simpatik, respek, apresiatif, dan empati.

Pertanyaan kemudian, adalah mungkin pendidikan multikultural di Sulawesi Selatan menjadi gagasan bersama dalam mendorong dan membangun iklim demokrasi lokal yang substantif, sehingga bukan hanya "mahasiswa" dan kelompok "prodemokrasi" lainnya yang dituding penghambat demokrasi (pelaku anarkis). Semoga menjadi gagasan besar bersama!!!



SOLUSI MASALAH REPRESENTASI BERMASALAH

Ir Soekarno mengatakan , “Di Bawah Bendera Revolusi” (1965), Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah ’pemerintahan rakjat’. Tjara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakjat untuk ikut memerintah. Tjara pemerintahan ini sekarang menjadi tjita-tjita semua partai nasionalis Indonesia. Tetapi dalam mentjita-tjitakan faham dan tjara pemerintahan demokrasi itu, kaum Marhaen toch harus berhati-hati. Artinya: djangan meniru sahaja ’demokrasi demokrasi’ yang kini dipraktekkan di dunia luaran….” Lebih dari empat puluh tahun yang lalu “putra sang fajar” telah mengingatkan kepada kita bahwa jangan hanya meniru sistem kerja seperti demokrasi yang dipraktekan di dunia luar. Soekarno mempunyai pandangan bahwa demokrasi ala Eropa tidak sesuai dengan kaum Marhaen di Indonesia. Demokrasi ala Eropa (demokrasi parlemen) hanya demokrasi politik saja sementara demokrasi ekonomi tidak ada. Soekarno menulis demokrasi politik saja belum menyelamatkan rakyat, oleha karena harus cari alternatif demokrasi yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Berawal dari krisis multi dimensi, Indonesia kembali mencari demokrasi, setelah demokrasi Pancasila yang disalah artikan dengan kekuasaan oleh rezim Orde Baru.
Pasca reformasi hingga saat ini Indonesia masih dibelenggu oleh berbagai permasalahan yang tidak kunjung berakhir. Seperti yang disebutkan oleh Deutser bahwa Indonesia dihadapi oleh empat masalah besar yaitu: pemulihan ekonomi, transisi demokrasi dan reformasi politik, desentralisasi, serta pendefinisian ulang atas identitas nasional. North berpendapat bahwa setiap perubahan besar (big – bang) yang radikal berpotensi menyebabkan perubahan dalam tatanan ekonomi dan politik. Apa yang terjadi di Indonesia adalah perubahan dari suatu pekerjaan ekstrem ke keadaan ekstrem yang lain yang tidak pernah menjanjikan. Akibatnya terjadi pergeseran yang radikal dari kekuasaan yang terpusat menjadi tersebar. Pada saat yang sama perubahan yang radikal itu tidak dapat mengatasi permasalahan pada masa transisi. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kita belum menemukan bangunan pemerintah yang dapat bekerja secara efektif dalam memecahkan masalah. Sejauh ini, institusional set-up dalam disain demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang lebih berhaluan liberal, mengalami berbagai hambatan serius. Dalam kasus Indonesia, perubahan itu belum menghasilkan institusi negara atau pemerintah yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang begitu kompleks. Pertama mengenai representasi yang bermasalah (kasus DPD). Demokrasi tidak bisa dimajukan karena lembaga-lembaga representasi yang berkualitas belum tersedia secara memadai. Kedua partai politik sat ini cenderung oligarki. Yakni dalam tubuh partai itu, pihak yang memiliki wewenang yang besar dalam organisasi hanya orang-orang sama dan tertentu saja Pencapaian pada fase kedua tahapan reformasi justru mengejutkan. Demokrasi yang kita selenggarakan ternyata belum mampu menjawab problem bangsa ini secara signifikan, tepat, dan menyentuh akar masalah. Mengutip pendapat Arie Sujito bahwa “kita belum memanen demokrasi sesungguhnya untuk negara berkembang seperti Indonesia yakni: rakyat yang sejahtera, politik yang demokratis, kekuasaan yang bebas KKN, demokratisasi hubungan sipil militer dan penegakan hukum yang kokoh”. Hal ini disebabkan karena kecenderungan proses demokratisasi di Indonesia hanya mengadopsi lembaga dan aturan main demokrasi barat tapi penerapannya masih disesuaikan dengan kondisi setempat. Seringkali relasi kekuasaan antara aktor politik tidak didasarkan atas faktor strategis rasional tapi diselubungi oleh faktor-faktor lain, seperti primordial (etnisitas), relijiusitas, dan sebagainya. Alasan ini diperkuat oleh L.H.M Ling dan Chih-yu Shih bahwa : “Demokrasi di Asia Tenggara adalah produk yang bercampur antara nilai lokal dan nilai demokrasi liberal. Asia Tenggara meminjam institusi dan norma politik Barat tapi penerapannya berdasarkan kondisi lokal. Implikasinya, negara mengatur banyak hal, teknokratis, dan mengatur diskursus politik di masyarakat. (Ling dan Shih, 1998 : 1)
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika demokrasi itu tidak diikuti oleh pemerataan hasil pembangunan ekonomi dan kesejahteraan maka akan menjadi bumerang, karena pertumbuhan ekonomi susah dicapai dan akhirnya peciptaan lowongan kerja yang baru sangatlah minim dimana hampir dapat dikatakan negatif. Sebab transisi demokrasi di Indonesia dihadapkan pada masalah sosial dan ekonomi yang akut. Bukankah tujuan kita memilih demokrasi sebagai sistem sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles adalah untuk good life. Kalau begitu apakah demokrasi merupakan sistem yang paling terbaik di dunia? Demokrasi hanya sekedar menawarkan peluang bukan kepastian atau jaminan keberhasilan. Lalu bagaimana dengan nasib demokrasi kita pasca reformasi? Nampaknya kita mulai dijangkiti penyakit kegamangan demokrasi yang dapat berujung pada frozen Democracy. Apa itu frozen democracy? George Sorensen memperkenalkan konsep demokrasi beku yang menggambarkan kondisi masyarakat dimana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Proses demokrasi mengalami pembusukan dikarenakan ketidak mampuan pemerintah yang berkuasa melakukan perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, terutama yang menyangkutr kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat miskin. John Markoff dalam bukunya Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku yaitu: kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian sosial politik hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas. Bukan bermaksud mengadili tapi nampaknya apa yang disebutkan John Markoff rupanya sedang terjadi di Indonesia. Pasca reformasi kondisi perekonomian makin tidak menentu, pengangguran dan orang miskin semakin banyak.
Masyarakat sipil tumbuh tetapi tidak disertai dengan ketertiban sosial dan keberadaban masyarakat. Kebebasan sipil yang dijamin konstitusi tidak punya arti bagi kelompok minoritas. Rupanya apa yang menjadi kekhawatiran bagi Fareed Zakaria (editor News week International) menjadi relevan. Demokrasi menjadi tidak liberal. Kebebasan politik mendapat tempat, tetapi kebebasan sipil (civil liberties), khususnya kebebasan beribadah kelompok minoritas, justru terancam (baca kasus ahmadiyah). Alih-alih mengharapkan terjadi konsolidasi, yang terjadi malah fragmentasi dikalangan elite. Hal ini tercermin dari model pemberantasan korupsi “tebang pilih” yang sarat dengan kepentingan dikalangan elite politik. Problem politik dan hukum dimasa lalu masih menyandera bangsa Indonesia (kasus Alm soeharto). Penyelesaian masalah hukum yang melibatkan aktor-aktor dimasa orde baru yang terlibat korupsi dan melanggar HAM mengalami kebuntuan. Aktor-aktor yang turut mencicipi lezatnya kue pembangunan sedang asik mencuci tangan. Mengacu pada empat indikator di atas boleh jadi Indonesia sedang menuju ke arah demokrasi yang beku. Demokrasi yang tidak memberi makna apa – apa bagi bangsanya. Ketika demokrasi dihadapkan pada berbagai masalah seperti kemiskinan, pengangguran dll maka pilihan terhadap demokrasi disalahkan. Lalu apa yang salah dengan demokrasi Indonesia? Apakah sistem demokrasi kita benar-benar lamban dalam merespons terhadap isu-isu yang ada atau kelambanan itu memang berasal dari para aktor-aktor atau elite yang jumlahnya tidak melebihi dari penonton sepakbola. Perilaku politik elit menjadi variabel yang signifikan dalam menjelaskan transisi ke demokrasi. Bahwa tumbuhnya demokrasi sangat dipengarubi oleh kemampuan para politisi atau elit untuk menghasilkan reformasi ekonomi dan inovasi kelembagaan dalam rangka mengatasi kendala lingkungan struktural yang ada Lucian W Pye meyakini bahwa demokratisasi akan sangat ditentukan oleh keberadaan politisi populer yang merupakan elit dalam suatu kekuatan masyarakat politik. Politisi populer ini menjadi the critical key to democracy karena merekalah yang menjalankan fungsi artikulasi dan pengelompokan kepentingan masyarakat serta memfasilitasi modernisasi dan demokratisasi sehingga dapat menghindarkan ketegangan maupun konflik di masyarakat Robert Dahl dalam buku On Democracy (1999) menyebutkan persyaratan penting bagi demokrasi, antara lain pengawasan militer/polisi oleh pejabat sipil, keyakinan demokrasi dan kebudayaan politik, serta tidak ada kontrol asing yang memusuhi demokrasi.
Mengutip pendapat Jack Snyder dalam buku Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (2003), bahwa “demokrasi Indonesia belumlah matang”. Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia yang dipresentasikan pada Mei 2006 mengonfirmasi keraguan orang akan demokrasi. Survei itu menunjukkan pandangan: demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik mencapai 72 persen. Padahal, di negara demokrasi yang sudah mapan dukungan terhadap demokrasi sebagai sistem terbaik rata-rata 84 persen. Pada tahun yang sama hanya 62 persen responden yang puas dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Untuk menjalankan sistem politik demokrasi dibutuhkan sosok yang mampu mengarahkan ke mana demokrasi akan dibawa. Yaitu seorang yang mempunyai pemahaman mengenai demokrasi, visi yang benar mengenai demokrasi, memiliki cara komunikasi politik yang penuh empati, serta mempunyai kecerdasan akademik dan emosional untuk membawa Indonesia ke dalam sistem politik demokratis. Demokrasi bukan hanya untuk demokrasi, tetapi demokrasi untuk good life. Apa yang menjadi cita-cita seperti yang tertera pada Pembukaan UUD 1945 itu harus dicapai dengan jalan demokrasi. Karena demokrasi bukan sekedar masalah kebebasan dan prosedur melainkan substansi. Kalau begitu apakah Indonesia butuh demokrasi? Mari kita refleksikan bersama! (http://go-kerja.com/)


Demokrasi Partisipatoris dan Parlementer
Kita tidaklah sedang menciptakan sebuah Transformasi sosial, rakyatlah yang melakukan Transformasi social, yang kita lakukan adalah mendorong kesadaran rakyat menuju Transformasi sosial dan mempersiapkan momentum itu.
Demokrasi merupakan sebuah sistem sosial yang muncul dari dialektika sejarah manusia yang mengorganisir dirinya kedalam sebuah kelompok dan mengatur pembagian kekuasaan di dalamnya. Sejak runtuhnya uni soviet di akhir tahun 80an, demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem yang ideal yang dapat mengatur masyarakat dengan lebih adil dan mendorong kepada kesejahteraan juga sebagai sistem politik yang dinamis dan secara internal sangat beragam. Seorang teoritisi politik menjelaskan bahwa bahwa demokrasi setidaknya memiliki 10 keunggulan, yaitu menghindari tirani, menjamin hak asasi, menjamin kebebasan umum, menentukan nasib sendiri, otonomi moral, menjamin perkembangan manusia, menjaga kepentingan pribadi yang utama, persamaan politik, menjaga perdamaian dan mendorong terciptanya kemakmuran.
Proses demokrasi yang dianggap ideal adalah proses keterwakilan seluruh demos dalam proses pengambilan keputusan. Model yang dianggap ideal dalam pemahaman ini adalah model demokrasi langsung (urform) seperti konsep klasik polis Athena yang dianggap tidak akan dimungkinkan untuk dilaksanakan dalam kondisi Negara yang besar secara territorial dan dalam kondisi Negara yang memiliki jumlah penduduk jutaan. Sehingga kemudian muncullah demokrasi representatif sebagai penyelesaian masalah penerapan demokrasi. Demokrasi representatif sangat menekankan pada fungsi kepartaian sebagai alat representasi warga dalam proses politik. Partai politik ini diyakini muncul dari keinginan rakyat menyatukan pendapat dan persepsi secara berkelompok untuk menentukan representasinya dalam pemerintahan. Namun, pada faktanya partai dalam sejarahnya tidaklah berasal dari consensus dan kesadaran rakyat akan tetapi hanya dipergunakan untuk memenangkan kandidat dan bentuknya pun hanya seperti kepanitiaan. Meskipun begitu, tidak diabaikan juga bahwa proses dialektika sejarah membawa beberapa partai menjadi wadah perjuangan ideologis.
Pemahaman kendala demokrasi langsung menyebar sebagaimana pemahaman akan demokrasi menyebar di seluruh dunia hingga apa yang disebut demokrasi dalam pemahaman dunia adalah demokrasi representative dan diluarnya adalah bukan demokrasi. Demokrasi dicerabut dari esensinya yaitu pendistribusian kekuasaan ekonomi politik dan consensus seluruh rakyat, referendum pun disebut sebagai peristiwa langka padahal sebenarnya proses itu intrinsic dalam demokrasi. Demokrasi representative juga dikemas dalam ide liberalisme dan menjadikannya intrinsic di dalamnya, demokrasi pun bicara mengenai jaminan hak privat (privilage), hak berserikat pun diartikan sebagai hak pendirian perusahaan, partisipasi dibatasi dalam koridor pemilihan umum dan stabilitas pun diperkenalkan di dalamnya. Semakin lama demokrasi semakin tereduksi menjadi penguasaan sekeolompok kecil orang atas sebagian besar orang.
Dalam demokrasi representative, populasi memilih satu orang kandidat yang mereka percayai untuk dapat mewakili aspirasi mereka duduk di dalam parlemen dimana kebijakan public di buat, pemilih menyerahkan semua hak demokratiknya kepada kandidat tersebut. Permasalahan yang muncul kemudian adalah si kandidat memiliki jarak yang sangat jauh dari massa yang memilihnya denan berbagai macam alasan, pemahaman bahwa massa memiliki hak partisipasi demokratik dalam suatu Negara dan ketika ia melakukan pemilihan haknya diberikan kepada si kandidat pun agaknya asing di tingkatan massa. Kebanyakan massa hanya menagannggap pemilu adalah sebuah ritual kenegaraan dan meraka adalah penonton yang inferior di dalamnya. Banyaknya jumlah populasi yang mengharuskan kandidat melakukan komunikasi terhadap pemilih pun telah mendegradasi kualitas komunikasi politik dengan menggantikannya dengan symbol kampanye dan tentunya hanya orang-orang tertentu sajalah yang mampu membiayai kampanye tersebut. Hal ini telah menjauhkan kandidat dari pemilih sekaligus menutup kemungkinan kelas bawah untuk dapat menjadi kandidat dalam proses electoral. Proses ini kemudian akan memunculkan oligarki dalam kekuasaan. Meskipun begitu, kapitalisme membutuhkan oligarki untuk memastikan akumulasi modal dapat terus terkonsentrasi dan aman dalam bentuk kepemilikan privat.
Oligarki kemudian dengan sendirinya menciptakan krisis legitimasi di tataran rakyat ketidakpercayaan terhadap proses maupun konsistensi kandidat terpilih untuk membawa aspirasi rakyat mulai muncul, singkatnya kita dapat mengambil contoh dengan maraknya jumlah golput pada setiap pemilihan umum di berbagai Negara. Hal ini disebabkan langsung oleh kesenjangan proses demokrasi yang telah dipaparkan sebelumnya. Parlemen menjadi tempat yang asing bagi rakyat bahkan dapat disebut sebagai tempat yang terlalu mewah bagi rakyat, aspirasi tidak lagi didengarkan karena dihalangi oleh peraturan atas nama demokrasi sehingga mengharuskan rakyat melakukan aksi massa untuk menyampaikan aspirasinya karena memang para anggota parlemen tidak pernah bersentuhan langsung dengan rakyat yang diwakilkan oleh mereka bahkan rakyatpun tidak mengenal mereka sementara semua hak demokratik rakyat telah di berikan kepada mereka.
Bagi oligarki, golput bukanlah sebuah permasalahan serius. Keengganan massa memilih perwakilannya dianggap sebagai tindakan demokratis atau kesalahan teknis dalam proses pemilu. Golput bukanlah ancaman bagi oligarki karena meskipun tingkat golput tinggi pemerintahan yang terpilih oleh minoritas pun tetap terligitimasi secara yuridis. Disamping itu juga, pada kenyataannya golput lebih menjadi tindakan apolitis dan keputusasaan parsial dari pemilih (rakyat) terhadap setiap pergantian kekuasaan yang tidak memberikan perubahan apapun.
Demokrasi parlementer dan Oligarki seakan-akan telah menjadi dua hal yang sebenarnya satu. Tidak ada perbedaan mencolok diantara keduanya bahkan bisa dikatakan sama saja, begitupun juga dengan demokrasi. Jika begini masih layakkah demokrasi dipertahankan? Jika masih layak, adakah alernatif bagi demokrasi?
Peristiwa pembangunan demokrasi di Venezuela yang mengikuti proses demokrasi kuba pasca keruntuhan soviet mulai menggemparkan kaum prodem di seluruh dunia, belum lagi ketika secara bertahap namun pasti beberapa Negara amerika latin lain ikut membangun demokrasi dengan metode yang hamper sama dan keberanian politik yang layak diperhitungkan. Metode ini membalik semua proses demokrasi yang ada dan secara bertahap mengembalikannya ke tangan rakyat, meskipun kita ketahui bahwa belum sepenuhnya. Lalu apakah perbedaannya dengan demokrasi yang ada di sebagian besar Negara-negara di dunia? Inilah pertanyaan yang paling krusial bagi demokrasi yang mereka jalankan.
Demokrasi yang sedang di beberapa Negara di amerika latin ini di sebut sebagai Demokrasi Partisipatoris. Demokrasi model ini menjadikan demokrasi yang sebelumnya hanya menjadi ritual kenegaraan menjadi sistem yang nyata di tengah-tengah massa. sistem demokrasi ini memungkinkan massa memberikan aspirasinya secara langsung, merubah elitism parlemen menjadi proses partisipatoris dikalangan base massa terendah, memungkinkan massa mengorganisir dirinya sendiri dan merencanakan programnya sendiri untuk mereka. Dalam proses ini juga consensus rakyat merupakan hal yang paling utama sehingga referendum dipastikan dapat dilakukan kapan saja (tentunya dengan syarat). sistem demokrasi partisipatoris ini juga mensyaratkan terorganisirnya rakyat di setiap level dan pendidikan politik dilakukan secara simultan di dalamnya, system ini kemudian menjadikan demokrasi sebagai sistem social yang muncul secara integral dalam masyarakat hingga kemudian rakyat dapat menyadari bahwa kekuasaan ada di tangan mereka.
Metode ini mulai dilakukan di amerika latin oleh kuba ketika hubungan kuba dengan uni soviet kian memburuk sampai kemudian klimaksnya terjadi pada keruntuhan uni soviet di akhir 80 an, embargo ekonomi dan sabotase-sabotase ekonomi-politik yang dilakukan amerika serikat memaksa masyarakat kuba untuk menorganisir dirinya sendiri dalam kelompok-kelompok masyarakat untuk menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Negara ini. Dewan-dewan rakyat yang sebelumnya tidak aktif dibawah pemerintahan castro yang pro soviet mulai diaktifkan oleh Negara dengan tuntutan paling mendasar menyelamatkan kesejahteraan dasar rakyat yaitu produksi pangan. Melalui dewan-dewan rakyat ini, rakyat mulai menggarap lahan-lahan kritis di seluruh kuba dengan tuntutan yang sederhana pula jika lahan kritis tidak dapat diperdayakan maka kebutuhan pangan rakyat tak akan terselesaikan. Dengan cepat kesadaran ini menyebar di seluruh rakyat, berbagai macam eksperimen pertanian dilakukan dengan teknologi tradisional hingga akhirnya lahan-lahan kritis tersebut dapat diberdayakan untuk pertanian kuba, produksi komoditas pertanian pun semakin membaik. Embargo bahan bakar juga memaksa masyarakat kuba mengkolektifkan kepemilikan atas kendaraan bermotor dan mempelajari otomotif secara otodidak.
Ketika kuba memulai hubungan dagang dengan perancis, dewan-dewan rakyat pun menuntut untuk jaminan kesejahteraan mendasar yaitu pendidikan dan kesehatan. Konsentrasi pada kedua tuntutan ini menjadikan kuba sebagai Negara dunia ketiga pertama yang bebas dari buta huruf dan memiliki supply tenaga kerja kesehatan yang berlimpah karena pendidikan kesehatan tidak dikenakan biaya apapun sehingga dapat memaksimalkan jumlah pekerja kesehatan di negeri ini. Ketika kuba mulai menalankan sistem perdagangan (perdagangan kuba di dalam negeri adalah industry jasa pariwisata) dan monoter pun, dual economic sistem diterapkan, dua mata uang berlaku di negeri ini yaitu peso dan dollar. Peso kuba bagi rakyat hanya seperti kupon dibandingkan uang. Namun dalam hal ini proses demokrasi partisipatoris di kuba tetap tidak dapat dilihat seara jelas kecuali proses elektoralnya yang memakan waktu dua setengah tahun.
Proses demokrasi partisipatoris yang dapat dipantau lebih jelas adalah proses demokrasi di Venezuela. Proses ini mirip dengan proses yang terjadi di kuba namun lebih terbuka. Demokrasi partisipatoris di Venezuela menggunakan dewan komunal sebagai tenaga pokoknya dalam agenda revolusi bolvarian mereka. Dewan-dewan komunal ini dibentuk di berbagai level massa untuk memutuskan kebutuhan mendasarnya melalui program-program kerakyatan yang mereka usulkan ke pemerintah, konstitusi Negara ini dirubah menjadi konstitusi yang lebih kerakyatan.
Proses electoral di Negara ini berlangsung seperti halnya proses electoral di negar-negara lain pada umumnya, oposisi pun dijamin keberadaannya. Namun, proses electoral venezuela memiliki perbedaan mendasar yaitu seluruh pemilih menyadari betul pentingnya member suara pada proses electoral. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Ya. Hal ini disebabkan oleh pengorganisiran lingkaran Bolivarian di barrios-barrios (desa) yang memungkinkan diskusi politik terjadi di seluruh tingkatan massa, konstitusi juga dibagikan di seluruh level massa, diskusi-diskusi mengenai konstitusi terjadi di setiap tempat, warung-warung keil dan pinggiran jalan-jalan di Venezuela. Tingkat golput pun menurun secara signifikan dari 65% sebelum Chavez berkuasa menjadi hanya 35% secara bertahap. Proses referendum kembali diaktifkan dan di informasikan kepada massa. Bahkan, aksi tanda tangan bisa menjadi pencabutan mandate rakyat terhadap pemerintahan yang berkuasa dan ini bisa dilakukan kapan saja jika pemerintah melakukan penyelewengan kekuasaan. Proses demokrasi ini memobilisasi seluruh rakyat untuk terlibat aktif didalamnya.
Efektifnya proses demokrasi partisipatoris in dalam menggalang kesadaran rakyat telah dibuktikan oleh rakyat Venezuela dan pemerintahan Chavez. Peristiwa kudeta di tahun 2002 ditanggulangi dengan mobilisasi rakyat dari kampong-kampung miskin dan desa-desa mengembalikan kekuasaan pada pemerintahan Chavez, sabotase ekonomi dari para kapitalis dijawab oleh rakyat pekerja dengan okupasi terhadap pabrik-pabrik yang ditinggalkan, program-program kerakyatan direncanakan, dioperasionalisasikan dan di awasi langsung oleh rakyat melalui dewan komunal.
Melihat proses ini, pertanyaan yang mendasar bagi kita adalah bagaimana dengan Indonesia? Jika dibandingkan dengan Indonesia, proses demokrasi Venezuela jelas sangat berbeda bahkan saling bertolak belakang. Indonesia, sebagaimana Negara-negara ‘demokratis’ pada umumnya meletakkan demokrasi pada pengertian ritual pemilu dan elitism parlemen, partisipasi politik rakyat hanya terjadi pada masa pemilu, tingkat golput semakin meningkat, rakyat buta politik, terlebih lagi proses referendum jangan harap proses ini dikenal oleh rakyat Indonesia. Seluruh proses yang terjadi di Venezuela merupakan hal yang asing bagi rakyat Indonesia bahkan tidak terpikirkan.
Jika kita mengambil contoh di Venezuela dan kuba, kita dapat menemukan bahwa terdapat sebuah proses ekonomi politik yang memaksa rakyat merubah paradigmanya terhadap demokrasi yang sudah diterapkan. Perubahan structural ekonomi politik merupakan factor utamanya, perubahan inilah yang mendorong perubahan kesadaran secara massal di tingkatan massa. Bisa kita ambil contoh embargo ekonomi terhadap kuba dan sabotase ekonomi di Venezuela, proses politik seperti percobaan pembunuhan terhadap castro dan kudeta atas pemerintahan chavez juga mendorong kesadaran rakyat untuk berperan serta dalam politik. Hal lain yang menggerakkannya juga dapat kita ambil dari perubahan struktur politik di kuba dan lingkaran Bolivarian di Venezuela yang. Kita bisa membagi kedua factor tersebut sebagai momentum dan kepemimpinan politik. Kedua factor inilah yang membuat demokrasi partisipatoris jadi memungkinkan untuk di terapkan. Demokrasi partisipatoris membutuhkan kesadaran partisipasi aktif dari rakyat dan alat atau wadah partisipatorisnya.
Pertanyaan bahwa apakah terdapat kemungkinan diterapkannya demokrasi partisipatoris di Indonesia, jawabannya adalah ada kemungkinannya. Meskipun tidak menemukan momentum seradikal kuba, dalam beberapa tahap keadaan di Indonesia hamper serupa dengan Venezuela dan Negara dunia ketiga lainnya. Pembentukan demokrasi partisipatoris di Venezuela pun tidak dilakukan secara parsial dari rangkaian gerak ekonomi politik Venezuela, begitupun juga kemungkinan yang ada di Indonesia. Demokrasi partisipatoris sebagai ide untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh kaum prodemokrasi dan kaum progresif lainnya di Indonesia dengan meluaskan pembangunan organisasi-organisasi rakyat.
Demokrasi sebagai sebuah sistem social harus dibentuk dari sistem social itu sendiri melalui pengorganisiran di tingkatan rakyat dan mengenalkan proses demokrasi ini dalam bentuk tindakan keseharian dalam pengorganisiran. Membangun kesadaran rakyat melalui proses demokratis dan menjadikan demokrasi sebagai nilai social di tingkatan rakyat. this article wan on http://www.rumahkiri.net




Problem Pemerintahan Demokratis
Oleh: A Muhaimin Iskandar

________________________________________
NAIKNYA Megawati Soekarnoputri ke puncak kekuasaan, telah memunculkan harapan dan optimisme baru. Harapan ini muncul setelah pendahulunya, Abdurrahman Wahid, dianggap gagal membangun kembali bangsa ini. Namun, satu tahun pemerintahan berjalan, harapan itu perlahan-lahan hilang. Buruknya kinerja pemerintahan, dinilai menjadi penyebab utama.
Di bidang ekonomi, misalnya, kurs rupiah masih amat fluktuatif; kebijakan membuka diri terhadap investor belum berhasil; pemerintah justru terus meningkatkan utang luar negeri; penyiapan lapangan kerja belum tersedia, sehingga jumlah pengangguran makin membengkak.
Di bidang hukum, pemerintah belum menunjukkan kinerja dan komitmennya. Ini ditunjukkan oleh tidak seriusnya pemerintah mengungkap kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), lemahnya aparat penegak hukum menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh, Tanjung Priok, dan pelanggaran-pelanggaran di tempat lain. Begitu juga upaya penyelesaian konflik di sejumlah tempat, tidak berhasil. Di Aceh, Maluku, dan sejumlah daerah, konflik masih masih terjadi.
Kebijakan kesejahteraan sosial juga belum menunjukkan hasil memuaskan. Pemerintah tidak mampu mengatasi kian melambungnya harga kebutuhan bahan pokok, bahkan, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2002 pemerintah justru menaikkan harga rata-rata bahan bakar minyak (BBM) sebesar 22 persen, menaikkan harga tarif dasar listrik (TDL), dan menaikkan tarif telepon sebesar 30 persen. Kebijakan pemerintah itu bukannya membuat kesejahteraan masyarakat bertambah baik, sebaliknya masyarakat makin tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ke masa lalu
Pergantian dari rezim otoriter ke demokratis, sering meninggalkan sejumlah masalah. Sederet masalah mulai dari membengkaknya utang luar negeri, meningkatnya jumlah kemiskinan, inflasi yang tak terbendung, menguatnya gerakan sparatisme, sampai rumitnya penuntasan pelanggaran HAM berat maupun ringan, menjadi pekerjaan pertama yang harus secepatnya diatasi pemerintahan baru.
Upaya penyelesaian sejumlah persoalan itu akan menentukan, apakah rezim demokratis mampu mengonsolidasikan dirinya dengan kuat atau gagal. Dalam banyak kasus, pemerintahan baru selalu dipaksa menyelesaikan persoalan itu agar dapat memelihara dan memperkuat legitimasinya. Jika gagal, taruhannya adalah degradasi legitimasi yang akan berdampak bagi terganggunya konsolidasi demokrasi.
Pertanyaannya, apakah negara demokrasi baru, terutama di dunia ketiga, mampu mengatasi dan menuntaskan sejumlah persoalan itu? Dalam kenyataannya, rezim-rezim itu memang berhasil mengatasi masalah tertentu. Namun, pada sebagian besar kasus, tampaknya ia tidak mampu menangani masalah-masalah ini secara efektif dan cepat dibanding pemerintahan sebelumnya yang otoriter. Untuk sekian waktu lamanya, persoalan-persoalan itu tetap mengambang dan tidak ada alternatif penyelesaiannya.
Dengan situasi seperti itu, apakah demokrasi menjadi terancam? Bagi sebagian negara boleh jadi demikian. Di Filipina, Peru, dan Guatemala misalnya, proses demokrasi mendapat tekanan berat. Tekanan itu adakalanya muncul dari kekuatan baru yaitu oposisi, namun yang paling berat justru dari elemen-elemen lama yang telah terkonsolidasi kembali.
Kegagalan mengatasi sejumlah persoalan warisan ini, menurut Huntington (1991) berkonsekuensi pada munculnya empat sikap atau perilaku masyarakat.
Pertama, munculnya kekecewaan yang kemudian berimplikasi pada sinisme dan penarikan diri dari dunia politik alias
apatis. Pada masa transisi biasanya ditandai oleh tingginya animo masyarakat terhadap pemilihan umum, namun seiring ketidakmampuan pemerintahan baru, pengakuan masyarakat kemudian menurun drastis.
Kedua, kekecewaan sering mewujud dalam reaksi menentang pemerintah. Ekspektasi masyarakat yang begitu tinggi, ternyata tidak mampu dipenuhi pemerintah. Akibatnya, masyarakat berbalik pada kekesalan yang berujung pada perlunya melakukan tindakan untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Ketiga, kekecewaan terhadap pemerintahan demokratis kadang bukan reaksi yang bersifat antikemapanan. Dalam hal ini para pemilih tidak hanya menolak partai politik yang berkuasa, mereka juga menolak kelompok alternatif utama yang ada dalam sistem itu dan memberi dukungan kepada kekuatan di luar sistem.
Keempat, yang paling ekstrem dan paling mencemaskan bila kekecewaan masyarakat tidak ditujukan kepada kelompok atau partai politik yang sedang memerintah, tetapi ditujukan kepada sistem demokrasi yang dianggap tidak memberi solusi bagi penyelesaian masalah. Mungkin ini merupakan kekecewaan fundamental dan paling berbahaya terhadap penerimaan dan eksistensi demokrasi.
Sejumlah kekecewaan itu akhirnya akan memunculkan sikap kembali ke masa lalu (back to the past). Masyarakat akan melirik pemerintahan masa lalu. Alasannya, meski otoriter, pemerintahan masa lalu dianggap dianggap lebih mampu dibanding pemerintahan dengan sistem demokrasi. Bahkan, masyarakat tidak terlalu peduli, dengan sistem otoriter atau demokrasi, yang penting bisa memenuhi segala kebutuhannya dan mampu menuntaskan segala persoalan.
Fakta ini pernah terjadi di Spanyol, kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan diktator di bawah Franco tentang standar hidup, penegakan hukum, ketertiban, dan keadilan sosial antara tahun 1978 sampai 1984 meningkat drastis. Tahun 1987, tujuh tahun setelah pengukuhan demokrasi, penduduk kota Lima memilih Jenderal Juan Valesco, diktator Peru, sebagai presiden terbaik dibanding rezim sesudahnya yang demokratis. Dan yang paling dramatis adalah polling tahun 1993 yang menunjukkan 39 persen penduduk Moskwa dan St Pettersburg mengatakan, kehiduan yang lebih baik justru diperoleh ketika penguasa komunis berkuasa dan hanya 27 persen yang mengatakan ketika ada di bawah pemerintahan demokratis.
Lingkaran setan
Meski lamban, bahkan gagal menuntaskan sejumlah persoalan itu, tidak berarti menyebabkan jatuhnya pemerintahan demokratis. Namun, secara signifikan berpotensi mengancam legitimasi dan efektivitas kinerja pemerintahannya. Akibatnya, rezim demokratis ada dalam lingkaran setan; merosotnya legitimasi akan berakibat tidak efektifnya kinerja pemerintah; sementara, ketidakefektivan kinerja menyebabkan merosotnya legitimasi.
Pada akhirnya, problem ini akan memunculkan kerapuhan pondasi kekuasaan. Karena itu, stabilisasi kekuasaan rezim demokratis amat tergantung pada upaya dan kemampuan kelompok-kelompok elite politik yang utama-para pemimpin partai politik, pemimpin militer, teknokrat atau konglomerat-untuk secara sinergis menuntaskan masalah-masalah yang dihadapi rakyat.
Selanjutnya, pihak oposisi menahan diri dari upaya mengeksploitasi sejumlah persoalan guna meraih keuntungan politik atau material secara langsung. Ini mungkin sulit dilakukan, mengingat sistem demokrasi identik dengan pengakuan kelompok-kelompok kritis yang selalu mengawasi jalannya pemerintahan.
Terakhir, stabilitas demokrasi juga tergantung kemampuan publik untuk memilah-memilah atau membedakan sistem demokrasi itu sendiri dengan pelaku atau pemerintah. Artinya, kekecewaan masyarakat tidak serta merta ditujukan kepada penolakan terhadap sistem dan konsep-konsep dasar demokrasi, tetapi lebih diarahkan pada kegagalan para pelaku atau elite politik yang sedang memerintah.
Meski sulit dilakukan, namun, untuk menyelamatkan sistem demokrasi, maka pembedaan-pembedaan seperti ini perlu dilakukan. Kendalanya mungkin terletak pada kesulitan masyarakat untuk membedakan antara kegagalan pelaku pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya dengan sistem demokrasi yang menjadi dasar suatu pemerintahan.
Meski fenomena ini selalu menjadi problem bagi pemerintahan baru, namun, rasanya tidak ada jalan lain bagi pemerintah dan elite politik, kecuali bersama-sama secepatnya menuntaskan persoalan-persoalan di atas untuk mencegah munculnya sikap sinis dan apatis masyarakat.
A Muhaimin Iskandar Wakil Ketua DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JANGAN LUPA KASIH COMMENT YA.....!